Hari Perempuan Internasional, Kiara: Perempuan Nelayan Korban Perampasan Ruang Laut
Peran dan kontribusi perempuan nelayan sangat penting bagi perekonomian keluarga nelayan di 12.510 desa pesisir di Indonesia. "Bahkan, perempuan nelayan berperan hingga 17 jam setiap harinya," ujar Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Dusan Herawati, Jumat (8/3/2024).
Susan membahas hal itu berkaitan dengan
Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day/IWD) 8 Maret 2024. IWD telah diperingati sejak awal 1900-an.
Kiara dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mencatat bahwa selain minimnya pengakuan perempuan atas profesi nelayan, perempuan nelayan kini tengah menghadapi berbagai persoalan. Khususnya perampasan ruang laut (ocean grabbing) yang saat ini sangat masif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Oohya! Baca juga ya:
Roro Mendut, Beda Nasib Pembantu Sultan Agung dan Bung Karno dalam Mencari Istri
Bekerja 17 jam sehari tetapi menjadi pihak tang paling rentan ketika ada perampasan ruang laut. Itu yang tergambar dalam riset peran dan kontribusi perempuan nelayan di Indonesia yang pernah dilakukan Kiara. Kontribusi itu dilihat dalam rantai perikanan praproduksi sampai pascaproduksi.
Perampasan ruang laut (ocean grabbing) adalah bentuk penindasan baru yang juga berakar dari budaya patriarkis. Budaya ini dilegitimasi oleh sistem negara melalui berbagai bentuk kebijakan, peraturan, dan orientasi pembangunan serta ekonomi yang bersifat diskriminatif dan tidak berpihak pada perempuan.
Lahirnya IWD merupakan momentum peringatan atas perjuangan perempuan. Yaitu perjuangan melawan penindasan, diskriminasi, ketimpangan sosial, dan ketidaksetaraan hak-hak yang seharusnya dimiliki perempuan.
Momentum IWD bukan sekadar seremonial tahunan. IWD menjadi refleksi bersama tentang pengalaman panjang dalam upaya untuk keluar dari ketidakadilan.
Oohya! Baca juga ya:
Presiden Ini Dicapreskan Lagi oleh Golkar tapi Pilih Mundur, Sikapnya Menuai Pujian
Susan Herawati, menegaskan, Hari Perempuan Internasional menjadi momentum penting bagi semua pihak untuk kembali merefleksikan perjuangan perempuan untuk mendapatkan ruang inklusif: “Dalam konteks perikanan dan kelautan, ruang inklusif bagi perempuan nelayan harus tetap diwujudkan," ujar Susan.
Praktik yang selama ini berjalan, bahwa pelibatan dan partisipasi yang bermakna dari perempuan nelayan sangat minim. "Terutama dalam pengambilan keputusan yang nantinya akan berdampak kepada perempuan nelayan itu sendiri,” kata Susan.
Peran krusial dalam profesi nelayan ini belum dilihat sebagai sesuatu yang penting oleh pemerintah. Dampaknya, keberpihakan dan apresiasi melalui pengakuan oerempuan dalam profesi nelayan masih sangat minim diberikan.
"Salah satu penyebabnya karena masih kentalnya budaya partiarki yang terwujud dalam sistem sosial yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek tanpa kesetaraan hak yang sama,” kata Susan.
Negara belum mengakui perempuan sebagai subjek yang berdaya dan berdaulat atas sumber daya laut. Dalam hal ini, perempuan juga berpotensi menjadi korban yang akan merasakan dampak paling besar dari perampasan ruang laut tersebut.
Dampak dari ocean grabbing bagi perempuan adalah hilangnya hak dan kedaulatan perempuan untuk mengakses laut. Hilangnya hak mengelola laut sesuai praktik-praktik berbasis kearifan lokal perempuan yang telah dikerjakan dan diwariskan secara kolektif sebagai kekayaan intelektual perempuan Indonesia.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno Beli 50 Burung Sebelum Bisa Menikahi Fatmawati, untuk Apa?
Ini semua merupakan fakta diskriminatif yang bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. Putusan ini menjamin hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan ruang laut serta Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
Sekretaris Jenderal PPNI Masnuah menjelaskan, perempuan nelayan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban akibat ekstraktivisme, melalui industri pertambangan di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Juga lewat penimbunan laut (reklamasi), proyek industri eko-pariwisata, kawasan strategis nasional, proyek konservasi ecofasis hingga krisis iklim yang tengah terjadi.
"Pemerintah tidak mengerti dan tidak mau mengerti atas beban ganda yang dimiliki oleh perempuan nelayan, dan memberikan solusi palsu yang tidak menjawab akar utama berbagai permasalahan tersebut seperti perdagangan karbon (carbon trading), ekonomi biru (blue economy), penangkapan ikan terukur, dan lain sebagainya,” jelas Susan.
Oohya! Baca juga ya:
Dianggap Dukun, Bung Karno Disebut Bapak Penolong Semua Orang
Sudah seharusnya pemerintah Indonesia menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi dan memberdayakan perempuan nelayan. "Mulai dari pengakuan profesi, peningkatan kapasitas, melindungi hak-hak konstitusional masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga mengevaluasi serta menghentikan proyek ekstraktif dan eksploitatif yang terbukti dan berpotensi merampas ruang hidup perempuan nelayan," kata Susan.
Pemerintah harus berbenah dan membuktikan bahwa perspektif dan budaya oemerintah bukan patriarki. "Hari Perempuan Internasional harus menjadi momentum dan titik balik bagi seluruh pihak untuk mengukuhkan ruang inklusif bagi seluruh Perempuan di Indonesia," kata Susan.
Ma Roejan