Bung Karno Beli 50 Burung Sebelum Bisa Menikahi Fatmawati, untuk Apa?
Ketika Bung Karno menginjak usia 40 tahun, ia melontarkan niatnya untuk menikahi gadis yang sudah menginjak usia 17 tahun. Istri Bung Karno, Inggit, yang sudah memasuki usia 53 tahun memilih dicerai.
Sebelum akhirnya Bung Karno bisa menikahi gadis itu, Fatmawati, pada Juni 1943, ia sempat membeli 50 burung gelatik. Pada 1943 itu, Fatmawati telah berusia 20 tahun, Bung Karno 42 tahun, dan Inggti 56 tahun.
Untuk apa Bung Karno membeli 50 burung gelatik itu? Bagaimana hubungannya dengan Inggit selama tiga tahun sebelum ia akhirnya bisa menikahi Fatmawati?
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno pun Pernah Gagal Menagih Utang ke Teman Dekat, Apa Kata Teman yang Ditagih Itu?
Bung Karno mengenal Fatmawati ketika Fatmawati masih berumur 15 tahun. Saat itu Bung Karno dibuang oleh Belanda ke Bengkulu.
Inggit setia menyertai Bung Karno selama hampir lima tahun di Bengkulu. Bung Karno sering berdiskusi dengan Fatmawati mengenai Islam dan perempuan.
Kepada Inggit, ia mengaku Fatmawati telah dia anggap sebagai anaknya sendiri. Fatmawati yang sering berkunjung ke rumah Bung Karno menyebut Bung Karno dengan sapaan bapak.
“Bagiku ia hanya seorang anak yang menyenangkan, salah seorag dari begitu banyak anak-anak yang mengelilingiku untuk meghilangkan kesepian yang jadi melarut dalam hatiku,” kata Bung Karno.
Pernikahan Bung Karno dengan Inggit tidak membuahkan anak. Mereka kemudian mengangkat anak, yaitu Ratna Djuami.
Oohya! Baca juga ya:
Dianggap Dukun, Bung Karno Disebut Bapak Penolong Semua Orang
Setelah Ratna dewasa dan menikah, Bung Karno tak bisa mengatasi rasa kesepian tanpa kehadiran anak kandung. Bung Karno ingin memiliki banyak anak, dan ternyata Fatmawati juga memiliki keinginan demikian.
“Yang kuberikan kepadanya adalah kasih sayang seorang bapak,” kata Bung Karno mengenai Fatmawati.
Malam itu, Bung Karno tengah bercerita di hadapan anak-anak, termasuk Fatmawati. Bung Karno duduk di dipan, di sebelahnya kosong, dan Inggit mengambil tempat di sebelah Bung Karno.
Benih-benih cemburu telah muncul di hati Inggit. Ia mengawasi gerak-gerik Bung Karno saat menyampaikan cerita.
“Aku merasakan ada percintaan yang sedang menyala di rumah ini. Jangan coba-coba menyembunyikan,” kata Inggit kepada Bung Karno.
“Jangan begitu. Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri,” jawab Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Ada Transportasi Ramah Lingkungan di Taman Margasatwa Ragunan
Ingit tidak bisa menerima jawaban Bung Karno itu. Kata Inggit, “Seseorang tidak bisa membohong dengan sorotan matanya yang menyiar, kalau ada orang lain mendekat.”
Bagi Inggit, tak mungkin anak perempuan dekat dengan bapaknya, di masa itu. Anak perempuan lebih dekat kepada ibunya.
“Hati-hatilah Sukarno, supaya mendudukkan hal ini menurut cara sepantasnya,” kata Inggit.
Rasa cemburu Inggit terbukti pada 1940 ketika Bung Karno mengutarakan niatnya untuk menikahi Fatmawati yang usianya menginjak 17 tahun. Inggit marah, dan memilih untuk dicerai saja jika Bung Karno nekat menikah lagi.
Hubungan Bung Karno dan Inggit semakin memburuk. Hal itu membuat Bung Karno semakin kesepian.
Oohya! Baca juga ya:
Berapa Tandu yang Dipakai Jenderal Sudirman Sebelum Ketemu Bung Karno?
Ia lalu mencari kesibukan. Ia memelihara 50 burung gelatik yang ia beli dengan harga sangat murah.
Burung-burung itu dimasukkan ke dalam sangkar yang besar. Tiap hari Bung Karno bermain dengan burung-burungnya itu di sela kesibukan lain yang ia buat untuk menghilangkan kesepian.
Tapi kesenangan ini pun, kata Bung Karo, tidak bisa memuaskan hatinya. Ia lalu melepas kembali burung-burung gelatik itu.
“Aku tidak sampai hati melihat makhluk yang dikurung dalam sangkar,” kata Bung Karno.
Pada masa kanak, Bung Karno pernah menjatuhkan sarang burung yang ada di pohon jambu di pekarangan rumah di Mojokerto. Telur-telur di sarang itu pecah.
Ayah Bung Karno marah karena hal ini, karena ia sudah mengajari Bung Karno mengenai perlunya menyayangi semua makhluk.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams (1986, cetakan keempat)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]