Dianggap Dukun, Bung Karno Disebut Bapak Penolong Semua Orang
Selama menjadi tahanan politik di Bengkulu, Bung Karno memiliki pekerjaan baru. Sebagai orang pintar.
Datang pemerah susu yang memerlukan uang, yakin Bung Karno bisa menyelesaikan masalah keuangannya. Pernah pula perempuan yang menangis karena sudah tujuh bulan tidak mengalami menstruasi datang dengan menganggap Bung Karno sebagai 'Bapak penolong semua orang'.
Ada pula penduduk yang kerbaunya dirampas pegawai, datang meminta tolong kepada Bung Karno. “Ia datang padaku sebagai ‘dukun’-nya,” kata Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Inggit Marah, Mengapa Bung Karno Tidur dengan Anjing Ketika Jadi Tahanan Politik di Bengkulu?
Bagi penduduk yang digolongkan oleh Bung Karno sebagai rakyat marhaen itu, kerbau itu sangat berarti baginya. Bung Karno pun meminta penduduk itu ke pengadilan.
Untuk menenangkan hati penduduk itu, Bung Karno menyatakan akan mendoakannya. ‘Tiga hari kemudian kerbau itu kembali,” kata Bung Karno.
Sah sudah Bung Karno sebagai dukun. “Dalam kehidupanku di Bengkulu pada masa itu aku memperoleh kedudukan sebagai orang cerdik-pandai dari kampung,” kata Bung Karno.
Lalu, suatu hari datang pemerah susu yang sedang kesulitan uang. Ia menemui Bung karno karena yakin pemasalahan keuangannya bisa selesai berkat bantuan Bung Karno.
Kali ini Bung Karno tidak bisa menyarankan orang itu pergi ke suatu tempat lalu mendoakannya. “Aku keluar dan menggadaikan bajuku untuk memenuhi tiga rupiah enam puluh sen yang diperlukannya,” ujar Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Jenderal Sudirman Terkepung Belanda, Bagaimana Meloloskan Diri?
Bung Karno dibuang ke Bengkulu oleh Belanda karena aktivitas politiknya. Sebelumnya ia dibuang ke Flores.
Di Bengkulu ia pernah melakukan pentas sandiwara. Hal ini membuat Gubernur Jenderal Hindia-Belanda senang karena perhatian Bung Karno sduah beralih dari politik ke kesenian.
Di Bengkulu Bung Karno menjalaninya hampir lima tahun, dari Oktober 1938 hingga 1942. Sebelumnya ia menjalani masa pembuangan di Ende, Flores dari 1933 hingga 1938.
Di Bengkulu ia bertemu dengan Fatmawati yang membuat Inggit cemburu. Dengan Fatmawati yang berselisih usia 20 tahun, Bung Karno sering berdiskusi tentang Islam dan perempuan.
Bung Karno mendapat pengetahuan Islam selama ia berbalas surat dengan A Hassan. Ia melakukanya selama menjalani masa pembuangan di Ende, Flores.
“Ajaran Nabi menaikkan derajat perempuan,” kata Bung Karno ketika Fatmawati bertanya soal hukum Islam terhadap perempuan.
Oohya! Baca juga ya:
Berapa Tandu yang Dipakai Jenderal Sudirman Sebelum Ketemu Bung Karno?
“Perempuan sekarang menjadi teman hidup yang sama kedudukannya dalam perkawinan,” lanjut Bung Karno.
Suatu hari ada perempuan menangis-nangis datang menemui Bung Karno. Kepada Bung Karno, perempuan itu mengaku sudah tujuh bulan belum menstruasi.
“Apa yang saya lalukan? Saya bukan dokter,” kata Bung Karno.
Perempuan itu datang bukan semata-mata datang ke sembarang orang. Ia sudah mendengar jika Bung Karno sudah biasa menolong semua orang.
Maka ia datang kepada Bung Karno untuk meminta bantuan. “Bapak penolong semua orang. Bapak juru selamat kami," kata perempuan itu.
Oohya! Baca juga ya:
Reformasi, Diselamatkan Habibie Dihancurkan Jokowi
Bung Karno tertegun dianggap sebagai juru selamat. Belum sempat menanggapi pernyataan perempuan itu, Bung Karno sudah mendapat pujian lagi, lalu permintaan tolong yang mengiba.
"Saya percaya Bapak, dan saya merasa sangat sakit. Tolonglah, tolongkah, Tolonglah saya,” kata perempuan itu.
Bung Karno tidak habis pikir, begitu besar kepercayaan perempuan itu kepada Bung Karno. Bung Karno tidak ingin mengecewakannya, lalu ia membaca surah Alfatihah.
“Ditambah dengan doa yang maksudnya sama dengan ‘Bapak kami yang ada di surga’,” kata Bung Karno. “Kemudian perempuan itu sembuh dari penyakitnya,” lanjut Bung Karno.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams (1986, cetakan keempat)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]