Reformasi, Diselamatkan Habibie Dihancurkan Jokowi
BJ Habibie menjadi presiden tanpa disiapkan dan tanpa menyiapkan diri. Berbeda dengan Jokowi yang memang disiapkan dan menyiapkan diri, meski sebelum mendaftarkan diri ke KPU selalu mengelak tidak memikirkan copras-capres.
Ketika Habibie naik menjadi presiden, banyak suara penolakan karena dia dihitung sepaket dengan Soeharto, sehingga seharusnya juga mundur demi sempurnanya reformasi. Sedangkan Jokowi menjadi presiden dengan penuh sambutan.
Tapi, reformasi justru diselamatkan Habibie dan dihancurkan Jokowi. “Keinginan untuk terus berkuasa dengan segala cara dan tanpa memperhatikan suara demokrasi adalah menjijikkan bagi BJ Habibie,” ujar Indonesianis Daniel S Lev.
Oohya! Baca juga ya:
Setelah Jenderal Sudirman Berseteru dengan Bung Karno dan Belanda Menyerbu Yogyakarta
Sebelumnya, Habibie adalah wakil presiden hasil SU MPR 1997. Namun, besarnya tuntutan reformasi yang menghendaki Presiden Soehato mundur, membuat Habibie naik menjadi presiden setelah Presiden Soeharto mundur pada Mei 1998.
Tuduhan terhadap Habibie sebagai bagian dari status quo datang bertubi-tubi. Tetapi Habibie membantah semua tudingan itu tidak hanya dengan kata-kata, melainkan juga dengan perbuatan.
Majalah Time, edisi 3 Agustus 1998 mengutip perkataan Habibie. “Saya bukan raja. Saya tidak mau eksklusif. Saya seperti Anda juga.”
Bantahan dalam perbuatan ia lakukan dengan tidak maju menjadi calon presiden lagi. Pada saat MPR melakukan pemungutan suara untuk menerima atau menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie, Jakarta dalam keadaan genting. Perkantoran di Sudirman-Thamrin hanya buka setengah hari, karena ada demonstrasi.
Massa demonstrasi itu mendukung Megawati sebagai calon presiden. Pilihannya: Megawati atau Revolusi.
Oohya! Baca juga ya:
Jenderal Sudirman Sebelum dan Sesudah Serangan Umum 1 Maret 1949, Sebelum Ketemu Bung Karno
Di MPR, masih ada fraksi yang mencalonkan Habibie sebagai presiden. Habibie yang dicaonkan oleh Golkar pun mundur dari pencalonan, sehingga calon yang ada adalah Megawati dan Abdurahman Wahid.
Pendukung Habibie juga cukup besar. Jika ia melakukan berbagai upaya dan tetap bersedia dicalonkan, maka ia masih memiliki peluang menjadi presiden kendati laporan pertanggungjawabannya telah ditolak oleh MPR.
Golkar yang mencalonkannya, memiliki jumlah kursi terbesar kedua setelah PDIP. Partai-partai Islam memiliki kemungkinan masih akan mendukung Habibie.
Dalam waktu yang singkat selama menjadi presiden, pendirian teguh Habibie membuatnya bekerja secara fokus. Ia bisa memulihkan ekonomi dengan begitu cepat, menaikkan nilai rupiah atas dolar dengan begitu cepat pula.
Ia juga fokus menjalankan demokrasi. Kebebasan pers pun dijalankan.
Dunia internasional memujinya. Lee Kuan Yew yang meremehkan dia, akhirnya memujinya. Bill Clinton pun memujinya. Selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka, baru dalam pemerintahan Habibie Indonesia disebut menikmai pemilu yang jujur dan adil.
Oohya! Baca juga ya:
Sidang Umum MPR pun berjalan demokratis. MPR tidak lagi berada di bawah komando presiden, seperti di masa Orde Baru.
“Di dalam sidang-sidang SU MPR terjadi pemberdayaan dan mencuatkan rasa kegembiraan. Hal itu telah memecah tabu di masa lalu yang menjadikan MPR tunduk pada komando presiden,” kata Indonesianis dari Amerika Serikat, Daniel S Lev.
Menurut Daniel S Lev, baru kali inilah anggota parlemen memiliki keleluasaan berbicara bebas dan memberi kritik pedas terhadap kinerja presiden. Hal itu muncul karena kebijakan dan langkah Habibie mendorong apa yang disebut Daniel S Lev sebagai mind of liberation.
“Keinginan untuk terus berkuasa dengan segala cara dan tanpa memperhatikan suara demokrasi adalah menjijikkan bagi BJ Habibie,” ujar Daniel S Lev.
Goenawan Mohamad pun ikut memuji Habibie. Saat itu Habibie menerima presiden baru, Abdurahman Wahid, di rumahnya.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno Membanting Tuiang di Sekolah, Lho, tidak Belajar? Ada Diskriminasi?
“Muka Habibie tetap meriah dan matanya bundar berpendar, senyumnya lebar,” kata Goenawan Mohamad di majalah Tempo edisi 31 Oktober 1999.
Habibie duduk di samping Abdurahman Wahid. “Wajahnya ini wajah yang tak kehilangan apa-apa. Sikap cerianya itu merupakan cerita baru tentang politik Indonesia,” kata Goenawan Mohamad.
Bagi Goenawan, Habibie telah menjalankan politik baru di Indonesia. Habibie tidak dipersiapkan menjadi presiden. Bahkan Soeharto juga tidak menginginkan Habibie sebagai penggantinya.
“Tapi insiden sejarah telah menyebabkan Habibie naik dari wakil presiden menjadi presiden. Ketika turun, ia menerima kekalahan dengan muka tetap meriah dan mata berpendar serta senyum lebar,” ujar Goenawan.
Sejak remaja, Habibie memang selalu ceria. Ketika masuk organisasi Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) ia diplonco senior-seniornya, pukul 05.00 harus membangunkan senior-senior putri di Asrama Putri ITB.
Tingkah laku Habibie yang memiliki nama plonco Bangsat (kutu busuk) membuat para senior putri terbahak-bahak. Dan Habibie juga tetap dengan wajah yang ceria meski ditertawakan.
“Ia telah membuktikan kebesarannya tidak kalah dari Soeharto. Sebuah proses sulit telah mempersiapkannya untuk menjadi bagian penting politik baru di Indonesia, politik dengan sepercik peradaban,” lanjut Goenawan Mohammad.
Oohya! Baca juga ya:
Ketika MPR mengadakan pemungutan suara untuk pertanggungjawaban Presiden Habibie, Habibie mengaku tetap bisa menikmati tayangan televisi dengan santai bersama istrinya.
MPR menolak pertanggungjawabannya meski setelah menyampaikan pidato pertanggungjawaban, Habibie menerima penghormatan berupa standing ovation dari anggota MPR.
“Bahkan sesudah itu ia pergi ke Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama ulama dan habaib yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Subuh serta menemui massanya dan meminta mereka untuk tidak kecewa," ujar Andi Makmur Makka, eks pemimpin redaksi Republika.
Bagaimana dengan Jokowi? Ia telah membawa kodok troya, eh, kuda troya, menyusupkan rombongan untuk menghancurkan jalan panjang reformasi.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
The True Life of Habibie, Cerita di Balik Kesuksesan, karya A Makmur Makka (2008)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]