Bung Karno Membanting Tuiang di Sekolah, Lho, tidak Belajar? Ada Diskriminasi?
Bung Karno masuk Technische Hoogeschool te Bandoeng. Hanya 11 orang yang berkulit cokelat, termasuk Bung Karno.
“Terapung-apung dalam lautan kulit putih berambut merah, berjerawat, dan bermata hijau seperti kucing,” kata Bung Karno menggambarkan banyaknya orang Eropa yang belajar di sekolah tinggi teknik itu.
Sebagaimana halnya di sekolah menengah Eropa, di sekolah teknik ini anak-anak Indonesia juga mengalami diskiminasi. “Kami harus membanting tulang di sekolah,” kata Bung Karno.
Lho, untuk apa membanting tulang? Apakah mereka tidak belajar?
Oohya! Baca juga ya:
Apa Kata Rakyat Jika Bung Karno Menceraikan Inggit yang Sudah Tua? Menantu Bertanya
Panggilan inlander yang sering didengar Bung Karno di sekolah menengah Eropa, juga masih dia dengar di sekolah teknik yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu. “Hai kamu anak inlander bodoh, mari sini.” Begitu anak-anak Belanda memanggil anak-anak Indonesia.
Semasa di sekolah menengah, Bung Karno pernah ditonjok oleh anak Belanda yang membuat hidungnya berdarah. Saat itu, ketika Bung Karno hendak masuk ke lingkungan sekolah, ia diadang oleh anak Belanda.
Bung Karno tak mau menyingkir ketika anak itu menyebut Bung Karno sebagai inlander dan memerintahkan menjauh darinya. Mendapat tonjokan, Bung Karno tak tinggal diam, ia balik menonjok anak itu.
Dari 300 siswa Belanda di sekolah menengah, hanya 20 siswa Indonesia, termasuk Bung Karno. Mengalami diskriminasi itu menyakitkan, dan Bung karno merasakannya ketika anak-anak Belanda sering memoyoknya.
“Kami pun mengalami diskriminasi di dalam sekolah. Sekolah begitu keterlaluan terhadap kami, sehingga kalau seorang anak Bumiputra membuat suatu kesalahan maka direktur menghukumnya dengan larangan masuk kelas selama dua hari,” ujar Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Ingin Menikah Lagi, Kenapa Bung Karno ke Rumah Pelacuran?
Akibatnya tertinggal pelajaran, sehingga harus segera mengejar ketertinggalan itu. “Kami mencurahkan tenaga dengan sungguh-sungguh kepada pelajaran,” kata Bung Karno.
Meski sudah tekun belajar siang-malam, nilai yang didapat anak-anak Belanda pasti lebih tinggi. “Angka 10 tidak pernah diterima oleh anak Bumiputra,” kata Bung Karno.
Ketika di sekolah tinggi teknik, Bung Karno mengaku ada banyak pekerjaan rumah. Ia mengikuti kuliah enam hari dalam seminggu.
Setiap triwulan ada ujian tertulis selama sebulan. “Sungguh-sungguh rasanya seperti akan mematahkan tulang punggung karena bertekun,” kata Bung Karno.
Ketika masuk sekolah tinggi teknik ini, Bung Karno sudah menduga akan mengalami diskriminasi lagi. Aka nada anak Belanda yang memoyok anak-anak Indonesia lagi.
Benar adanya. “Seperti dugaan kami, anak-anak Belanda tidak mau tahu dengan kami di dalam kampus itu. Kalaupun mereka memberi perhatian kepada kami, itu hanya untuk membusukkan kami atau menyorakkan ‘Hei kamu, inlander bodoh, mari sini’,” kata Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Tapi kali ini, Bung Karno tak perlu melakukan tindakan. Cukup hanya berdiam diri, anak-anak Belanda menghentikan aksinya.
“Aku tidak tahu kekuatan apa yang ada padaku. Aku hanya tahu, bahwa sekalipun aku tidak mengucapkan sepatah kata, kehadiranku saja sudah cukup untuk menutup mulut orang-orang yang menghina, lalu menghentikan perintah-perintahnya,” kata Bung Karno.
Menurut Bung Karno, tak banyak waku untuk bersenang-senang selama kuliah di sekolah tinggi teknik itu. “Selurub jiwa dan ragaku segera penuh dengan berbagai kesukaran. Aksi-aksi revolusioner yang dilakukan buruh-buruh Indonesia menyita perhatiannya.
Pada 26 Mei 1926, Bung Karno mendapat gelar insinyur berkat rajin membanting tulang, bertekun dalam belajar. “Ijazahku dalam Jurusan Teknik Sipil menentukan bahwa aku adalah seorang spesialis dalam pekerjaan jalan raya dan pengairan,” kata Bung Karno.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams (1986, cetakan keempat)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]