Membuka Sekolah, Berapa Jumlah Murid RA Kartini?

RA Kartini ingin masuk sekolah HBS di Semarang, tetapi ayahnya yang Bupati Jepara tidak mengizinkannya. Kartini juga pernah ingin masuk sekolah bidan, tetapi juga tidak mendapat izin dari ayahnya.
Kesempatan belajar di Belanda juga hanya angan-angan belaka, karena tak mendapat restu. Ia pun meminta agar beasiswa sekolah di Belanda untuk dirinya itu dilimpahkan kepada Agus Salim.
Lalu Kartini membuat sekolah di rumah. Ia mengajari anak-anak perempuan yang masih kecil. Berapa jumlah murid Kartini?
Bagaimana ia bisa menjadi guru jika tak pernah bersekolah? Di rumah, orang tua Kartini menyediakan guru untuk Kartini dan adik-adiknya. Orang Belanda.
Guru itu mengajarinya bahasa Belanda dan Prancis. “Dan pelajaran lain yang diberikan di sekolah Belanda tingkat tinggi,” tulis Kardinah, adik Kartini, di buku Tiga Saudara.
Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, pada 8 November 1903 menjadi istri Bupati Rembang. Selama mengandung, Kartini sering sakit dan kemudian meninggal dunia pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putranya.
Lantas, bagaimana nasib sekolah Kartini? Kartini baru membuka sekolah di rumah pada 1903. Belum setahun berjalan, ia lalu pindah ke Rembang karena menjadi istri Bupati Rembang dan kemudian meninggal.
Anak-anak perempuan yang menjadi murid Kartini merasa senang belajar bersama Kartini. Kardinah bercerita, para murid itu bahkan enggan pulang. Mereka betah belajar di rumah Bupati Jepara.
Adik-adik Kartini, Roekmini dan Kardinah, bisa membantu Kartini mengajar mereka. Roekmini lulusan sekolah kesenian, Kardinah lulusan sekolah rumah tangga, tetapi Kardinah dinikahi seorang patih di Pemalang pada 1902.
Pernikahan ini membuat sedih Kartini dan adik-adiknya. Namun, mereka meyakini, hidup sudah ada yang mengatur
Kardinah tetap membawa semangat Kartini ke Pemalang. “Jika jatuh harus lekas bangun dan terus maju, jangan melihat ke belakang agar jangan tertendang oleh orang yang terus berjalan maju,” tulis Kardinah.
Para murid di sekolah Kartini mendapat pelajaran memasak, menjahit, merajut. Mereka juga mendapat pelajaran lain yang diajarkan oleh sekolah-sekolah pemerintah.
“Semua itu tidak memakai biaya (tidak membayar),” tulis Kardinah. Para murid itu adalah anak-anak sanak keluarga bupati dan anak pegawai.
