Ingin Menikah Lagi, Kenapa Bung Karno ke Rumah Pelacuran?
Usia Fatmawati baru 17 tahun ketika umur Inggit Ganarsih sudah mendekati 53 tahun. Bung Karno yang usianya mendekati 40 tahun pun ingin menikah lagi, yaitu dengan Fatmawati.
"Aku masih muda, kuat, dan sedang berada pada usia yang utama dalam kehidupan," kata Bung Karno. Tapi mengapa Bung Karno harus mengunjungi rumah pelacuran, sehingga Inggit mengamuk kepadanya?
Setelah memiliki anak, Fatmawati meninggalkan Bung Karno karena Bung Karno ingin menikahi Hartini, tokoh Gerwani. Pada Januari 1966, para mahasiswa membuat corat-coret di dinding paviliun Istana Bogor, tempat Hartini tinggal, antara lain: Lonte Agung, Gerwani Agung.
Oohya! Baca juga ya:
Menurut Bung Karno, pada 1953 sudah ada penolakan terhadap Hartini sebagai ibu negara. Mereka adalah kelompok perempuan yang menentang poligami.
"Mengapa aku mengawini Hartini? Alasannya sederhana saja. ... Aku jatuh cinta kepadanya," ujar Bung Karno.
Bung Karno mengaku percintaannya dengan Hartini begitu romantis. "Fatmawati sangat marah atas perkawinan ini," kata Bung Karno.
Banyak yang mengangap Hartini sebagai anggota Gerwani yang diumpan oleh Komunis kepada Bung Karno. Tapi Hartini membantah bahwa dirinya adalah anggota Gerwani.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno Ternyata Rajin ke Tempat Pelacuran Setelah Mendirikan PNI
Menurut dia, jika dia sering menerima tokoh-tokoh Gerwani di paviliun Istana Bogor, itu karena organisasi perempuan yang lain tidak ada yang bertamu kepada dirinya. Hanya Gerwani yang bertamu.
Meski Fatmawati meninggalkan istana, Bung Karno tidak menceraikannya. Alasannya, kata Bung Karno, "Karena anak kami yang lima orang."
Sepertinya, Bung Karno tidak membayangkan Fatmawati akan meninggalkan dirinya. Sebab saat Fatmawati masih kanak di Bengkulu, Bung Karno pernah membahas poligami dengannya.
Saat itu Bung Karno menanyakan apakah laki-laki yang mau menikah lagi harus meminta izin ke istrinya? Fatmawati menjawab tidak, sebab Alquran tidak mengaturnya. Yang mengatur adalah ulama pada abad ke-7 atau ke-8.
Tapi, ketika Bung Karno ingin menikahi Fatmawati, nyatanya ia harus meminta pendapat kepada Ratna Djuami, anak angkat Bung Karno dan Inggit.
Ia meminta pengertian dari Inggit. Saat itu, hubungan Bung Karno dengan Inggit juga tidak sedang baik.
Oohya! Baca juga ya:
Foto Bung Karno Ada di Tempat Pelacuran di Saat Banyak Orang Mencaci Dirinya
Karena ingin menghibur hati, Bung Karno menemani seorang kawan yang mendatangi rumah geisha. Yaitu rumah pelacuran di zaman pendudukan Jepang.
"Sekembali di rumah, Inggit mengamuk seperti orang gila," ujar Bung Karno.
Inggit Ganarsih berteriak-teriak kepada Bung Karno. Inggit melemparkan barang pecah belah, dengan Bung Karno sebagai arah sasaran.
Bung Karno pun mendekati Ratna Djuami dan suaminya, Asmara Hadi. Kepada Inggit, Ratna mengatakan bahwa Bung Karno menjadi pribadi yang pencemas dan penggugup. Pikirannya kacau, kesehatannya terganggu.
"Ini jalan satu-satunya, Bu," ujar Asmara Hadi menguatkan pandangan Ratna mengenai rencana Bung Karno menikahi Fatmawati. "Apa yang terjadi terhadap Indonesia, kalau dia hancur?" kata Asmara Hadi meminta pengertian dari Inggit.
Ohya! Baca juga ya:
Lebaran tak Bisa Beli Petasan 1 Sen, Bung Karno: Mau Mati Aku Rasanya
Semula, Asmara Hadi juga tidak setuju jika Bung Karno menikah lagi. Alasannya secara politik akan menghancurkan nama Bung Karno.
Bung Karno menikahi Fatmawati pada Juni I943 saat ia berusia 42 tahun. Inggit berusia 55 tahun dan Fatmawati berusia 20 tahun.
"Aku sendiri akan mencarikanmu rumah," kata Bung Karno kepada Inggit yang telah mendampingi Bung Karno pada masa-masa susah perjuangan. Ramadhan KH menulis biografi Inggit dengan judul yang getir: Kuantar ke Gerbang.
Tugas Inggit sudah dianggap selesai ketika Bung Karno sudah mendekati gerbang kemerdekaan. Jepang datang dengan janji akan memerdekakan Indonesia.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1986, cetakan keempat)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]