Pitan

Lebaran tak Bisa Beli Petasan 1 Sen, Bung Karno: Mau Mati Aku Rasanya

Bung Karno saat usia 15 tahun di Surabaya. Masa kanaknya di Mojokerto dijalani dengan kemelaratan. Untuk beli petasan saat Lebaran seharga satu sen, tak ada uang. "Mau mati aku rasanya," kata dia.

Ketika Idayu hendak melahirkan Bung Karno, Sukemi tidak mampu mengundang dukun bayi. Tak ada uang, karena kelahiran Bung Karno dibantu kawan dari keluarga.

“Keadaan kami terlalu ketiadaan,” ujar Bung Karno. Pada masa kanak pun, untuk membeli petasan seharga satu sen pun, Bung Karno tidak memilikinya, ia hanya bisa mengintip dari kamarnya untuk melihat teman-temannya bermain petasan di hari Lebaran.

“Betapa hancur luluh rasa hatiku yang kecil itu memikirkan, mengapa kawan-kawanku dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu –dan aku tidak! Alangkah dahsyatnya perasaan itu! Mau mati aku rasanya,” kata Bung Karno.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Benarkah Bung Karno Anak tidak Sah dari Tuan Kebun Kopi dan Buruh Pribumi, seperti yang Ditulis Majalah Belanda?

Betapa tidak. Dari lubang kecil dinding bambu kamarnya, Bung Karno melihat teman-temanya bersorak-sorai kegirangan bermain petasan.

“Aku merasa dariku sangat malang. Hatiku serasa akan pecah,” kata Bung Karno.

Di tempat tidurnya, Bung Karno kecil menangis. “Aku teringat ketika aku menangis kepada ibu dan mengumpat,” kata Bung Karno.

Apa umpatannya? “Dari tahun ke tahun aku selalu berharap-harap, tapi tidak sekalipun aku bisa melepaskan mercon,” kata Bung Karno.

Ia mengaku menyesal jika mengingat umpatan kepada ibunya di masa kecil gara-gara petasan itu. Sehabis mengumpat ibunya, pada malam hari ada tamu datang, memberi bungkusan kepada Bung Karno.

Oohya! Baca juga ya:

Perang Diponegoro, Krisis Akhlak, Kemakmuran Rakyat, dan Pelajaran yang Dapat Dipetik Darinya

“Aku sangat gemetar karena terharu mendapat hadiah itu, sehingga hampir tidak sanggup membukanya. Isinya petasan,” kata Bung Karno.

Saat itu, Bung Karno sudah tinggal di Mojokerto. Ayahnya, Sukemi, pindah ke Mojokerto pada saat Bung Karno berusia enam tahun. “Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari,” kata Bung Karno.

Maka, pada masa kanak itu, Bung Karno biasa memakan ubi kayu, jagung tumbuk. “Bahkan ibu tidak mampu membeli beras murah yang biasa dibeli oleh para petani,” kata Bung Karno.

Idayu hanya bisa membeli gabah. Setiap pagi, menumbuh gabah di lesung.

“Tak henti-henti menumbuk butiran-butiran berkulit itu sampai menjadi beras seperti yang dijual orang di pasar,” kata Bung Karno.

Dengan membeli gabah, lalu menumbuknya sendiri, Idayu bisa menghemat uang satu sen. “Dengan uang satu sen kita dapat membeli sayuran, Nak,” ujar Idayu kepada Bung Karno kecil.

Satu sen oleh Idayu bisa dipakai untuk membeli sayuran, sehingga tak mungkin Bung karno menggunakan satu sen itu untuk membeli petasan. “Semenjak hari itu dan seterusnya selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku menumbuk padi untuk ibuku,” kata Bung karno.

Oohya! Baca juga ya:

MUI dan Organisasi Masyarakat Sipil Luncurkan Fatwa tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global

Bung karno akhirnya terbiasa dengan kemelaratan itu. Pergaulan sosial menjadi akrab.

“Apabila tidak ada barang mainan atau untuk dimakan, apabila nampaknya aku tidak punya apa-apa di dunia ini selain daripada ibu, aku melekat kepadanya karena ia adalah satu-satunya sumber pelepas kepuasan hatiku,” kata Bung Karno.

Gaji ayah Bung Karno saat itu hanya 25 gulden sebulan. Untuk sewa rumah 10 gulden. Tersisa 15 gulden untuk biaya hidup sebulan. Sangat tidak cukup.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams (1986, cetakan keempat)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Halal Bihalal Dulu Disebut Alal Bahalal, Organisasi Katolik Juga Adakan Alal Bahalal untuk Rayakan Natal