Perang Diponegoro, Krisis Akhlak, Kemakmuran Rakyat, dan Pelajaran yang Dapat Dipetik Darinya
Akhir Februari 1830 memasuki awal puasa. Pangeran Diponegoro melakukan jeda perang, karena setiap bulan puasa ia memilih konsentrasi menjalankan ibadah puasa.
Tapi, pada bulan puasa 1830 itu, ia mendapat tawaran bertemu dengan pimpinan Belanda di Magelang, lalu ditangkap secara licik oleh Belanda pada hari kedua Lebaran, 28 Maret 1830. Mengapa Diponegoro menggelorakan Perang Jawa sejak 1825?
Apakah karena ia ingin menjadi sultan atau karena ingin memperbaiki krisis akhlak dan kemakmuran rakyat? Lalu pelajaran apa yang bisa dipetik dari Perang Jawa ini?
Oohya! Baca juga ya:
Selama Februari 1830, Diponegoro dibujuk oleh Belanda untuk bersedia datang di Magelang dan pada 8 Maret 1830 ia tiba di Magelang. Ini menjadi akhir perang yang ia gelorakan.
Muh Yamin memiliki jawaban soal hal yang ingin dicapai oleh Diponegoro dari perang melawan Belanda. Pada 1955, Yamin selaku menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan menyebut Perang Diponegoro menjadi salah satu dasar perang kemerdekaan Indonesia.
Ketika ia memulai Parang Jawa, kata Yamin, “Dia tidak hendak mengadakan restorasi kekuasaan keraton.”
Perang yang ia gelorakan juga bukan perjuangan baginya untuk menjadi sultan. Yamin menyatakan, Dipoengroo rajin membaca berbagai kitab sehingga membuat dirinya percaya pada penyusunan negara baru.
“Hendak memperbaiki masyarakat dan hendak menyusun kekuasaan politik yang baru,” kata yamin dalam sambutan Peringatan 100 Tahun Wafatnya Pangeran Diponegoro pada 8 Januari 1955 di Istana Negara.
Oohya! Baca juga ya:
Sebelum Perang Jawa meletus, kemakmuran rakyat telah merosot. Untuk menaikkan kemakmuran rakyat itu, kata Yamin, “Tidaklah dapat diberi kesempatan begitu saja oleh kekuasaan kolonial di Jawa tengah pada ketika itu.”
Keruntuhan moral juga terjadi di keraton Yogyakarta dan sekelilingnya. Kondisi ini, menurut Yamin, juga menarik perhatian Diponegoro.
“Dan percaya kepada kesusilaan sesungguhnya, maka pemberontakan krisis akhlak pada waktu itu hendak dijalankan. Hal ini sangatlah dipahamkan oleh Pangeran Diponegoro,” kata Yamin.
Karena krisis akhlak itu, Diponegoro mengalami sendiri penghinaan terhadap dirinya. Sebagai wali sultan ia tidak dianggap oleh residen Belanda dan ibu Sultan.
Maka, ketika ada proyek-proyek yang akan dijalankan oleh residen dan keraton, Dipoengoro tidak diajak bicara terelbih dulu. Seperti misalnya saat pelaksaaan proyek perluasan jalan atau penaikan pajak.
Sebagai pemilik lahan, ia juga tidak diajak bicara ketika perluasan jalan mengenai lahannya. Lahan itu menjadi lahan pertanian yang digarap oleh rakyat di bawah kepemimpinan Diponegoro.
Oohya! Baca juga ya:
“Perjuangan dimulai dalam tahun 1825 setelah kekuasaan Belanda –bukan kekuasaan keraton—bertentangan dengan keinginan dan kemauan daripada Pangeran Diponegoro untuk kepentingan masyarakat dan negara,” ujar Yamin.
Belanda telah membakar kediaman Diponegoro. Belanda juag membakar masjid di kompleks kediaman Diponegoro.
Selain itu, Belanda juga telah bertindak semena-mena terhadap makam leluhur Diponegoro. “Maka dengan keketapan hati beliau meninggalkan puri di Tegalrejo dekat Yogyakarta menuju selatan,” kata Yamin.
Lantas, pelajaran apa yang bisa dipetik dari Perang Diponegoro itu? Menurut Yamin, tidak hanya soal perjuangan menaikkan kembali kemakmuran rakyat dan memperbaiki kesusilaan yang telah merosot.
Oohya! Baca juga ya:
Awal Kisah Cucu Sultan Agung Ini Memilih Melarikan Diri ke Semarang Menjadi Pakubuwono I
“Yang sangat mengagumkan tidaklah heroism saja, melainkan kesetiaan pengikut kepada pemimpin. Kesetiaan rakyat kepada penganjur, Pahlawan Diponegoro,” kata Yamin.
Menurut Yamin, kesetiaan itu mengarah kepada tujuan kemerdekaan. Mengarah pada tujuan hendak melumpuhkan kekuasaan asing.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Pahlawan Diponegoro, karya Kementerian Penerangan RI (1955)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com