Foto Bung Karno Ada di Tempat Pelacuran di Saat Banyak Orang Mencaci Dirinya
Bung Karno mengakui dirinya banyak dikutuk sekaligus banyak dipuja. Namun, ia sangat benci mendapat makian.
Saat berjalan-jalan di lingkungan istana, Bung Karno mendapatkan laporan yang menggembirakan hati. Saat itu koran-koran sedang mencaci dirinya, menyebut rakyat telah membencinya.
Laporan yang disampaikan pejabat polisi itu menyebutkan foto Bung Karno dipasang di setiap kamar di tempat pelacuran. Pejabat polisi pelapor itu menyebut hal itu sebagai kabar baik, karena itu artinya rakyat jelata sangat mencintai Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno Gembira Pelacur PNI Dipenjara oleh Belanda
Pada 1928, Bung Karno rajin berkunjung ke tempat pelacuran. Sebagai ketua Partai Nasional Indonesia (PNI), ia merekrut para pelacur menjadi anggita PNI.
Para pelacur itu tidak hanya menjadi penumbang potensial, melainkan juga menjadi mata-mata. Mereka juga menjadi ujung tombak perang urat saraf dengan Belanda.
Rupanya, kedekatannya dengan para pelacur itu membekas di hati para pelacur. Bahkan hingga Bung Karno berada di ujung tanduk kekuasaannya pada 1965.
Pada masa itu, banyak pihak menyudutkan Bung Karno. Kedekatannya dengan Komunis membuatnya menjadi sasaran makian banyak pihak.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno Naik ke Meja Saat Berdiskusi dengan Siswa Belanda
Diplomat tinggi Inggris termasuk yang memakinya. "Dia seperti tikus yang terdesak," tulis diplomat itu ke perdana menteri Inggris.
Ada majalah yang mewawancarai tukang beca, menyebutkan, orang-orang kampung pun sudah muak terhadap Bung Karno. Tapi laporan pejabat polisi itu menghibur hati Bung Karno.
"Rakyat sangat menghargai Bapak. Mereka mencintai Bapak. Dan terutama rakyat jelata," kata pejabat polisi itu.
Pejabat polisi itu mengaku tahu hal itu karena telah menyaksikannya sendiri. "Dari mana engkau dan siapa yang kautemui dan apa yang mereka lakukan," tanya Bung Karno menyelidik.
Pejabat polisi itu menjelaskan telah melakukan pengawasan ke tempat pelacuran. Ia pun melaporkan hal yang didapat anak buahnya dari kegiatan pengawasan itu.
"Bapak tahu apa yang mereka temui? Mereka menyaksikan potret Bapak, Pak. Digantungkan di dinding," kata pejabat polisi itu meneruskan laporan anak buahnya.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno pun menanyakan tempat foto-foto dirinya digantungkan. "Di tiap kamar, Pak," jawab pejabat polisi itu.
Pejabat polisi itu bercerita secara detail mengenai kamar-kamar di tempat pelacuran. Di dalam setiap kamar ada tempat tidur dan meja.
"Tepat di atas meja itu, di situlah gambar Bapak digantungkan," kata pejabat polisi itu.
Tetapi pejabat polisi itu juga gundah. Di satu sisi hal itu menunjukkan masih ada rakyat yang memuliakan Bung Karno.
Tapi di sisi lain ia masih bertanya-tanya. Wajarkah foto presiden dipajang di kamar-kamar pelacur?
Oohya Baca juga ya:
"Apa yang harus kami kerjakan?" tanya pejabat polisi itu.
Sebelum pertanyaannya dijawab, ia mengajukan pertanyaan berikutnya. "Apakah akan kami pindahkan gambar Bapak dari dinding-dinding itu?"
Pejabat polisi itu sedang meminta petunjuk. Apa jawaban Bung Karno?
Bung Karno pun melarang pencopotan foto-fotonya dari dinding-dinding di tempat pelacuran itu. "Biarkan aku di sana. Biarkan mataku yang tua dan letih itu memandangnya," kata Bung Karno.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1986, cetakan keempat)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com