Pitan

Setelah Jenderal Sudirman Berseteru dengan Bung Karno dan Belanda Menyerbu Yogyakarta

Jenderal Sudirman memakai mantel Australia didampingi TB Simatupang melapor kepada Bung Karno dan Bung Hatta selaku presiden dan wakil presiden. Apa yang membuat Sudirman dan Bung Karno berseteru?

Sudah tiga bulan Jenderal Sudirman terbaring sakit, ketika pada 19 Desember 1948 Subuh ia menerima laporan bahwa Belanda sudah menyerbu Yogyakarta. Ketika sehari sebelumnya ia akan diungsikan oleh stafnya, ia menolak.

Ia baru akan bersedia diungsikan dari Yogyakarta jika bom pertama Belanda sudah jatuh. “Meninggalkan kota sebelum itu, dia mengartikan melarikan diri,” ujar Kapten Soepardjo, ajudan Sudirman. Lalu apa yang membuat ia berseteru dengan Bung Karno?

Pagi itu, Sudirman menemui Bung Karno, mengenakan piyama dan mantel hitam didampingi dokter Soewondo, Kapten Tjokropranolo, dan lain-lain. Bung karno dua kali meminta Sudirman pulang saja karena sedang sakit, tetapi Sudirman menolak.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Jenderal Sudirman Sebelum dan Sesudah Serangan Umum 1 Maret 1949, Sebelum Ketemu Bung Karno

Di istana pagi itu sudah berkumpul beberapa menteri ketika Jenderal Sudirman tiba. “Ini tidak apa-apa. Saudara baru akit dan supaya pulang saja mengaso,” kata Bung Karno kepada Sudirman.

“Ya, nanti dulu,” jawab Sudirman.

“Mas Dokter, antarkan Mas Dirman pulang supaya mengaso, dan supaya Mas Dokter menjaga dia,” kata Bung Karno kepada dokter Soewondo.

“Saya tidak mau, saya mau tunggu di sini,” jawab Sudirman.

Dokter Asikin yang juga ada di istina meminta izin untuk menyediakan kamar di istana jika Sudirman memerlukannya. Namun, Sudirman tetap tidak mau beristirahat, di kamar istana sekalipun. “Saya mau tunggu di sini,” jawab dia kepada dokter Asikin.

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno Membanting Tuiang di Sekolah, Lho, tidak Belajar? Ada Diskriminasi?

Pesawat-pesawat Belanda melayang-layang di udara Yogyakarta, menjatuhkan bom, di istana, Bung Karno mengadakan sidang kabinet. Jika bom itu jatuh di istana, habis sudah.

Maka, Sudirman kali ini menerima saran dari dokter Soewondo untuk meninggalkan istana, dibawa ke Mangkubumen. Setelah menyampaikan pesan kilat kepada segenap Angkatan Perang Republik Indonesia, Sudirman meminta pulang.

Tiba di rumah ia tidak langsung masuk, melainkan memandangi langit, melihat pesawat-pesawat Belanda yang berseliweran menjatuhkan bom. Sudirman kemudian membakar dokumen-dokumen yang tersimpan di rumahnya, lalu pada pukul 11.30 kembali ke Mangkubumen.

Pukul 14.00 ia mendapat kabar jika Belanda sudah masuk kota. Kepala Komando Militer Yogyakarta Kolonel Abdul Latief meminta Sudirman mengungsi agar tidak ditahan Belanda.

Siang itu Sudirman belum makan dan minum. “Terdorong oleh kemauan yang keras yang memberikan kekuatan padanya, Pak Dirman meninggalkan kotda dan keluarganya itu,” kata Kapten Soepardjo.

Sudirman akan dibawa ke Imogiri melalui Bantul. “Tetapi rencana itu tidak dapat dijalankan berhubung banyaknya rintangan-rintagan jalan. Sore itu kira-kira jam 18.00 tiba di Kterek, 20 kilometer selatan Yogyakarta,” kata Kapten Soepardjo.

Jenderal Sudirman dilantik menjadi Panglima Angkatan Perang (sekarang: TNI) pada 18 Desember 1948. Sehari kemudian Belanda menyerbu Yogyakarta, dan Jenderal Sudirman pun berpindah-pindah tempat memimpin perang gerilya di luar Yogyakarta.

Oohya! Baca juga ya:

Apa Kata Rakyat Jika Bung Karno Menceraikan Inggit yang Sudah Tua? Menantu Bertanya

Ia baru kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949. Menurut Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang, sebelum memulai perang, ramai diperdebatkan cara mengusir Belanda, efektif dengan perang atau dengan diplomasi?

TB Simatupang mendapatkan jawabannya pada 10 Juli 1949 sore saat mendampingi Sudirman menemui Bung Karno dan Bung Hatta. TB Simatupang duduk di samping Sudirman, di hadapannya ada Bung karno dan Bung Hatta yang memilih jalan diplomasi untuk mengusir Belanda.

“Jawab atas pertanyaan itu telah diberikan oleh pertemuan sekarang ini. Jalan poltiik dan diplomasi yang dilambangkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta jelas telah menemui kegagalan pada tanggal 19 Desember 1948," kata TB Simatupang.

"Maka sejak saat itu kata telah diserahkan kepada kekerasan senjata, yang dilambangkan oleh Pak Dirman. Jalan kekerasan itu belum berhasil untuk mengusir Belanda. Diplomasilah yang telah memungkinkian pertemuan sekarang ini diadakan di Yogyakarta. Akan tetapi diplomasi itu tentulah tidak akan berdaya apa-apa tanpa adanya perang rakyat,” lanjut TB Simatupang.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Laporan dari Banaran, karya TB Simatupang (1980, terbitan ulang)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Anggota Dewan Kabupaten Grobogan 9 Orang, Adakah Kakek Buyut Anda?

Image

Melawan Belanda dengan Bahasa