Lincak

Cipto Mangunkusumo Usul Bahasa Belanda Jadi Bahasa Persatuan

Cipto Mangunkusumo pernah mengusulkan bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan. Meski Ki Hadjar Dewantoro memahami jalan pikiran Cipto, ia tak menyetujui usulan Cipto itu. Mengapa? Sumber: priyantono oemar

Oleh Priyantono Oemar, Bergiat di Komunitas Jejak Republik

Dikeluarkan dari STOVIA pada 1900, Tirto Adhi Soerjo lalu bekerja di Pembrita Betawi. Sebagai redaktur, pekerjaan Tiro menyalin berita-berita atau tulisan-tulisan berbahasa Belanda ke bahasa Melayu.

Sebagai lulusan terbaik HBS se-Jawa, Tirto jukup mahir menggunakan bahasa Belanda, bahasa yang oleh Cipto Mangunkusumo, pada 1915, diusulkan menjadi bahasa persatuan. Apa alasannya?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Padahal, gara-gara berani menggunakan bahasa Belanda ketika berbicara dengan Residen Semarang, Tirto menerima hukuman “dibuang ke daerah pegunungan”, diangkat sebagai klerk (juru tulis) perkebunan di daerah pegunungan. Meski orang-orang tertentu dari kalangan Indonesia boleh belajar bahasa Belanda, bukan berarti kedudukan mereka dianggap sama, sebelum dilakukannya politik etis sejak 17 September 1901.

Bahasa persatuan yang dimaksud Tjipto adalah bahasa pengantar di sekolah-sekolah, yang memberikan peluang kepada banyak orang Indonesia untuk menguasai bahasa Belanda. Cipto memunculkan usulan itu untu menanggapi usulan DJA Westerveld, guru bahasa Jerman di HBS Semarang yang mengusulkan bahasa Jawa jadi bahasa persatuan (bahasa pengantar di sekolah).

Usulan Westerveld ini tentu saja akan menghambat kesempatan orang Indonesia menguasai bahasa Belanda. Itulah sebabnya, Cipto mengusulkan bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar di sekolah.

Bahasa Belanda telah membuat Cipto bisa belajar di STOVIA. Bagi Cipto, bahasa Jawa tidak cocok untuk mengungkap kebenaran, sebab bahasa Jawa hanya cocok untuk memuji.

Mungkin Cipto belum tahu cerita mengenai pengalaman Tirto Adhi Soerjo setelah dibuang ke pegunungan. Di perkebunan di pegunungan itu, teman Tirto yang orang Belanda di HBS yang kepandaiannya di bawah Tirto menjadi atasan Tirto.

Kartini menceritakan kisah Tirto itu kepada sahabatnya, Estelle H Zeehandelaar (Stella), dalam suratnya tanggal 12 Januari 1900. “Pemuda yang dulu dalam segala hal nomor satu itu sekarang harus merangkak di lantai untuk menghormati temannya yang dulu bodoh itu, berbahasa Jawa kromo dengan dia, sedangkan ia sendiri disapa dalam bahasa Melayu yang kurang baik,” tulis Kartini.

Kartini pun lantas mengajukan pertanyaan kepada Stella. “Dapatkah kamu membayangkan penderitaan hati yang agung dan megah ini, yang dihina sekeji itu? Betapa besar kekuatan jiwa yang tersembunyi dalam dirinya, sehingga ia selama itu dapat menahan semua bentakan dan ejekan!”

Namun, apa yang kemudian terjadi pada Tirto? Apakah Tirto berkelahi dengan teman HBS-nya itu?

“Tetapi akhirnya ia tidak dapat tahan lagi; ia berangkat ke Betawi dan mohon kepada YM Gubernur Jenderal untuk menghadap dan hal itu diizinkannya. Hasilnya ialah, ia dikirim ke Priangan dengan tugas untuk mempelajari penanaman padi,” lanjut Kartini.

Selama di Priangan, Tirto menerjemahkan berbagai tulisan mengenai penanaman berbagai macam tanaman ke bahasa Sunda dan Jawa, bahasa yang dianggap Cipto sudah tidak cocok lagi dengan pemuda masa itu.

Alasan Cipto yang bersifat nasionalis adalah bahwa dengan menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah, maka berbagai bahasa yang ada di Indonesia tidak akan iri sebagaimana jika hanya salah satu bahasa saja yang dijadikan bahasa pengantar. Misal, bahasa Melayu atau bahasa Jawa.

Berita Terkait

Image

Sebab Yamin Setuju Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Persatuan Usulan Tabrani, Inikah?

Image

Bahasa Indonesia di UNESCO, Menolak Imperialisme Bahasa Sejak Lahir

Image

Persatuan Indonesia Dipersoalkan Sulut Emosi Latuharhary

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

oohya.republika@gmail.com