Sebab Yamin Setuju Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Persatuan Usulan Tabrani, Inikah?
Oleh Priyantono Oemar, Bergiat di Komunitas Jejak Republik
Pada Kongres Pemuda Indonesia I, Muh Yamin menolak usulan Tabrani dari Jong Java mejadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun, di Kongres Pemuda Indonesia II Yamin setuju pada usulan Tabrani itu, sehingga akhirnya bahasa Indonesia dijunjung sebagai bahasa persatuan.
Apa sebab Yamin sebagai tokoh Jong Sumatra berubah pikiran? Tak ada penjelasan dari Yamin. Dalam pidatonya di Kongres Pemuda Indonesia II, Yamin hanya menjelaskan bahwa bahasa Indonesia sudah ada sejak dulu kala, tidak menjelaskan alasan perubahan sikapnya.
Namun, kita bisa menelusuri pendapat dari tokoh-tokoh lain. Para tokoh itu mengurai alasan, Sumatra dan Jawa lebih cepat bisa bersatu dibandingkan dengan daerah-daerah lain, dan terbukti setelah proklamasi kemerdekaan sebagian besar Sumatra dan Jawa yang teguh sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Dokter Soetomo mencatat, penyair-penyair muda yang ada di organisasi-organisasi pemuda (Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan lain-lainnya), masih menggunakan bahasa Belanda. Namun, kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia ketika nasionalisme semakin bertambah dalam.
“Nasionalisme bertambah dalam, dan penjair serta pengarang pengarang memakai bahasa persatuan, ialah bahasa Indonesia. Maksudnya mempertinggi dan memperkaya peradaban Indonesia dan menjunjung nama Tanah Air,” kata Soetomo dalam lampiran pidato yang ia sampaikan saat pembukaan Kongres Indonesia Raya, Januari 1932.
Sebelum periode ini, para penyair itu bergelut di dunia kepenyairan Melayu. Menurut Sanusi Pane –seperti yang dikutip Soetomo, mendapat pengaruh dari Jawa, dan Yamin sebagai penyair berada pada situasi ini ketika menggubah cerita Ken Arok dan Gajah Mada.
Pengaruh Barat dinilai Sanusi Pane telah menghentikan kemajuan sastra Melayu di pertengahan abad ke-20. Banyak hikayat Jawa yang diterjemahkan atau diturut dalam bahasa Melayu: Baratayuda, Panji, Damarwulan, dan sebagainya.
Hal itu menjadi penting bagi persatuan Jawa-Sumatra sebelum mencapai tahap persatuan Indonesia. Dulu Jawa-Sumatra menyatu dalam sebutan Jawa Mayor.
“Ada pasal-pasal yang dapat Jawa dan Melayu kembali, yang tidak menahan pengaruh persatuan Indonesia, dan yang menyebabkan bangsa Melayu mengerti akan keadaan bangsa Jawa,” kata Soetomo.
Dalam proses panjang perjuangan kemerdekaan, suka tidak suka harus diakui, ada peran penting dari bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sebelum dimunculkan bahasa Indonesia, berbagai kata penyemangat dipinjam oleh kalangan nasionalis Indonesia dari berbagai bahasa.
Pada saat membuka Kongres Indonesia Raya di Surabaya pada awal 1932, seperti dilaporkan koran De Sumatra Post edisi 12 Januari 1932, dokter Soetomo tak lagi mengutip pahlawan-pahlawan lokal seperti Diponegoro dan Imam Bonjol. Ia mengutip tokoh-tokoh Eropa seperti Napoleon, Garibaldi, Gladstone, Netti, Wagner, Crispi untuk menggelorakan semangat persatuan mencapai kemerdekaan.
Pepatah Melayu seturut dengan ajaran Islam, karena penulis-penulis Melayu di masa lalu mengurai isi Alquran. Itu sebabnya, bahasa Melayu mengadopsi bahasa Arab, berbeda dengan bahasa Jawa yang mengadopsi bahasa Sanskerta.
Misal, di Sumatra pemimpin kerajaan disebut sultan, sedang di Jawa dikenal sebagai raja. Tentu saja, setelah muncul Demak sebagai kerajaan Islam, Jawa mengenal pula sebutan sultan.