Ketemu Bung Karno, Jenderal Sudirman Tetap Pakai Mantel Australia, Ini Kata Soeharto Pemimpin Serangan Umum 1 Maret 1949
Dipimpin Letkol Soeharto, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan Serangan Umum pada 1 Maret 1949. Ada 2.000 prajurit TNI yang menduduki Yogyakarta sekitar enam jam.
Ini menunjukkan TNI masih ada, dengan panglimanya, Jenderal Sudirman, memimpin gerilya dari dalam hutan, sebagai sikap menolak diplomasi. Setelah melakukan serangan umum, prajurit TNI kembali meninggalkan Yogyakarta pada sore hari.
Sudirman tetap bertahan bergerilya hingga Indonesia meraih kedaulatan penuh. Setelah dibujuk, akhirnya mau masuk Yogyakarta dengan tetap mengenakan mantel Australia untuk bertemu Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Apa Kata Rakyat Jika Bung Karno Menceraikan Inggit yang Sudah Tua? Menantu Bertanya
Saat dijemput Letkol Soeharto, posisi Sudirman sudah berada di Karangmojo, sudah bulan Agustus 1949. Belanda sudah berangsur-angsur meninggalkan Yogyakarta sejak akhir Juni 1949, sehingga pada 6 Juli 1949 Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indoesia lagi.
Bung Karno dan Bung Hatta sudah tinggal di istana lagi sebagai presiden dan wakil presiden. Soeharto menjemput Jenderal Sudirman atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku menteri pertahanan/koordinator keamanan dalam negeri, dengan naik kuda.
“Waktu saya menemukannya, tentunya saya terharu. [...] Suasana itu begitu memkikat dan terjadi setelah kita mampu menghalau Belanda, musuh kita,” kata Soeharto.
Soeharto pun membujuk Sudirman untuk pulang ke ibu kota, Yogyakarta. Namun, Sudirman masih memiliki pemikiran lain, yaitu pengaruh terbaik bagi perjuangan.
“Pak Dirman mengeluarkan isi hatinya kpada saya dan mempertanyakan apa pengaruhnya terhadap perjuangan kalau beliau urun ke Yogya, sementara anak buah masih banyak yang diluar,” ujar Soeharto.
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno Membanting Tuiang di Sekolah, Lho, tidak Belajar? Ada Diskriminasi?
Soeharto pun menjelaskan kepada Sudirman jika Yogyakarta sudah menjadi ibu kota Republik Indonesia lagi. “Dengan itu berarti, kembalinya Yogya kepada kita harus kita gunakan untuk konsolidadi perjuangan kita, sampai Belanda benar-benar pergi dari bumi Indonesia,” jawab Soeharto.
Fisik Sudirman sudah sangat lemah saat itu karena sakit. Badannya kurus, tetapi kekurusannya tertutupi oleh mantel Australia yang tebal. “Bapak masih mempunyai kewajiban untuk memimpin perjuangan kita ini,” bujuk Soeharto.
Sudirman pun bersedia pulang ke Yogyakarta dengan ditandu, pada 10 Juli 1949 tiba di Yogyakarta. Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia, TB Simatupang, sudah menyiapkan baju kebesaran TNI-nya di Piyungan.
Namun, Jenderal Sudirman memilih untuk tidak mengenakan seragam TNI. “Beliau tetap mengenakan pakaian yang asal, dengan mantel Australiaa paling luar. Badan beliau kurus. Tetapi dengan mengenakan mantel yang tebal itu kelihatan gemuk. Mantel itu berat sekali,” kata Soeharto.
Dari Piyungan, Sudirman ke Yogyakarat dengan naik Jeep. Rakyat menyambutnya di sepanjang jalan.
Sudirman ingin melihat langung pasukan, tetapi kemudian dibatalkan karena khawatir muncul pandangan ada pertentangan dirinya dengan Presiden. Maka, dipilihlah melapor ke Presiden di istana terlebih dulu. “Waktu turun dari Jeep, Pak Dirman dan Bung Karno berperlukan,” kata Soeharto.
Oohya! Baca juga ya:
Ingin Menikah Lagi, Kenapa Bung Karno ke Rumah Pelacuran?
Sebelum memulai perang gerilya, Sudirman marah kepada Bung Karno yang menolak ajakan berperang. Bung Karno memilih jalur diplomasi. Mulanya, Sudirman terlihat tidak mau membalas pelukan ketika Bumg Karno memeluknya.
“Tetapi barangkali dipandangnya tidak baik bila menolak, dipandangnya perlu dilakukan, sekalipun untuk sandiwara, untuk tampak ke luar,” ujar Soeharto.
Dari istana Sudirman kemudian ke alun-alun untuk melihat pasukan kehormatan yag sudah disiapkan untuk menyambutnya.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan, karya Soejitno Hardjosoediro (1987)
- Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, karya Ramadhan KH (1989)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]