Jenderal Sudirman Terkepung Belanda, Bagaimana Meloloskan Diri?
Pada 18 Januari 1949, pasukan Belanda menggekedah rumah-rumah di sekitar Sedayu. Malam hari pun mereka masih mencari Jenderal Sudirman dengan menggunakan obor.
Pada 20 Januari 1949 penggeledahan dilanjutkan ke rumah-rumah di Sedayu. Jenderal Sudirman sudah bersembunyi di hutan rotan dan terkepung oleh pasukan Belanda.
Rombongan pengawal Jenderal Sudirman sempat ada yang bertempur dengan pasukan Belanda. Bagaimana Jenderal Suditman harus meloloskan diri dari hutan rotan yang terkepung Belanda itu?
Oohya! Baca juga ya:
Bung Karno dan Cecak yang Berharap Sebutir Nasi di Sel Penjara Banceuy yang Gelap dan Lembab
Jenderal Sudirman meninggalkan Yogyakarta pada 19 Desember 1948 sore, setelah Belanda menyerbu ibu kota itu. Panglilma Angkatan Perang itu harus diungsikan agar tidak ditangkap oleh Belanda.
Jenderal Sudirman sedang sakit. Ia sudah sakit-sakitan sejak tiga bulan sebelumnya.
Di luar Yogyakarta, Jenderal Sudirman hampir tujuh bulan memimpin perang gerilya. Pindah dari datu tempat ke tempat lainnya.
Ketika Belanda menggeledah rumah-rumah di Sedayu, Kapten Soepardjo masih membereskan pakaian dan perlengkapan Jenderal Suditman. Ajudan Jenderal Sudirman itu selamat karena Belanda tidak menggekedah rumah bekas tempat bersembunyi Jenderal Sudirman dan rombongan bersembunyi.
Oohya! Baca juga ya:
Berapa Tandu yang Dipakai Jenderal Sudirman Sebelum Ketemu Bung Karno?
Jika Belanda menggeledah, tentu akan menangkap Kapten Soepardjo. Dengan demikian, tentunya Belanda akan menginterogasinya.
Tapi posisi Jenderal Sudirman di hutan rotan itu belum aman. Tempat persembunyian itu terkepung oleh posisi pasukan Belanda yang masih menggeledah rumah-rumah di desa sekeliling hutan.
Untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain ia harus ditandu. Termasuk ketika harus masuk ke hutan rotan yang mendaki itu.
Beberapa pengawal diminta mencari jalan keluar dari hutan roran. Jenderal Sudirman harus meloloskan diri dari kepungan Belanda itu, mencari tempat persembunyian yang aman.
Beruntung malam harinya hujan lebat. Waktu hujan itu turun, dimanfaatkan untuk keluar dari hutan, karena pasukan Belanda dipetkirakan sedang lengah.
Tapi ada usaha lebih yang harus dilakukan. Pasukan pengawal tidak bisa menandu Jenderal Sudirman karena jalanan yang licin.
Oohya! Baca juga ya:
Reformasi, Diselamatkan Habibie Dihancurkan Jokowi
Jenderal Sudirman harus berjalan kaki. "Jika dia tidak kuat dia ditarik atau didorong oleh dokter Soewondo dan Kapten Soepardjo," kata Kapten Soepardjo.
Mereka berjalan menembus hujan lebat itu sekitar 1,5 jam. Jenderal Sudirman sudah tiga hari tidak makan nasi, kondisi kesehatannya terus memburuk.
Hal itu membuat Jenderal Sudirman sering mengajak beristirahat. Selama tiga hari, ia hanya makan sayur-sayuran dan nangka.
Ketika mendapati sebuah rumah kecil, rombongan beristirahat. Badan tang kedinginan dihangatkan dengan api yang dinyalakan.
"Persediaan obat-obat yang dibawa semuanya rusak ditimpa hujan," kata Kapten Soepardjo.
Oohya! Baca juga ya:
Setelah Jenderal Sudirman Berseteru dengan Bung Karno dan Belanda Menyerbu Yogyakarta
Pada 22 Januari 1949, Kapten Soepardo mencari perbekalan. Itu hari kelima Jenderal Sudirman tidak memakan nasi.
Kapten Soepardjo kembali dengan membawa tiga kilogram jagung dan seekor ayam. Dimasak untuk dimakan oleh 10 orang.
Kemudian Jenderal Sudirman ditandu bergerak ke Desa Jambu. Pada 24 Januari 1949, Jenderal Sudirman ditandu lagi untuk meninggalkan Desa Jambu.
Ada banyak tandu yang dibuat untuk membawa Jenderal Sudirman. "Tidak terhitung berapa kalikah tandu-tandu itu berganti-ganti," kata Kapten Soepardjo.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Laporan dari Banaran, karya TB Simatupang (1980, terbitan ulang)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]