Pitan

Inggit Marah, Mengapa Bung Karno Tidur dengan Anjing Ketika Jadi Tahanan Politik di Bengkulu?

Bung Karno bersama Inggit (tengah) di Bengkulu pada 1939. Pada 1940 ia meminta izin untuk menikahi Fatmawati, Inggit pun marah. Lalu bagaimana ceritanya Bung Karno tidur dengan anjing?

Bung Karno berniat menikahi Fatmawati, Inggit marah, langsung meminta cerai. Hubungan Bung Karno dengan Inggit pun menjadi buruk, Bung Karno menjadi kesepian.

Ia lalu mengatasi kesepiannya dengan cara tidur dengan anjing. Bung Karno memiliki dua ekor anjing hadiah dari calon menantu residen yang belajar bahasa Jawa kepadanya.

Selain itu, ia juga membeli 50 ekor burung gelatik. “Aku mencoba mengalihkan pikiranku dari persoalan pribadi dengan memelihara hewan-hewan lain,” ujar Bung Karno yang tinggal di Bengkulu menjadi tahanan politik Belanda.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Jenderal Sudirman Terkepung Belanda, Bagaimana Meloloskan Diri?

Pada saat Inggit memasuki usia ke-53, Bung Karno memasuki usia ke-40. Masih gagah. Dan ingin menikah lagi.

Ia pun menyampaikan keinginannya menikahi Fatmawati kepada Inggit. Usia Fatmawati menginjak 17 tahun.

Inggit tidak setuju. “Aku tidak bisa menerima istri kedua. Aku minta cerai,” kata Inggit.
Rencana menikah inilah yangmembuat hubungan mereka selama di Bengkulu menjadi memburuk. Inggit menyertai Bung Karno yang dibuang Belanda ke Bengkulu.

“Hubungan kami sangat tegang, akan tetapi ia kami lanjutkan juga,” kata Bung Karno.

Bung Karno pun lantas mencari kesibukan. Awalnya ia mengajar guru-guru Muhammadiyah, lalu membuat seminar alim ulama.

Oohya! Baca juga ya:

Berapa Tandu yang Dipakai Jenderal Sudirman Sebelum Ketemu Bung Karno?

Ia juga mengajar bahasa Jawa untuk calon menantu residen. Bung Karno menjadi akrab dengan calon menantu residen itu.

Ketika pernikahan hedak dilangsungkan, murid bahasa Jawanya itu meminta Bung Karno menjadi saksi. Ia bersedia.

Namun residen menolaknya, karena tak rela anak saksi nikah anaknya seorang tawanan utama Belanda. Bung Karno tetap diundang sebagai tamu dalam pernikahan itu.

Setelah setahun mengajar bahasa Jawa, menantu residen itu kemudian menghadiahinya dua ekor anjing Dakhshaund. “Aku sayang sekali kepada anjing-anjing itu. Ia kubawa tidur,” kata Bung Karno.

Ia memanggil anjing-anjingnya itu dengan cara membunyikan mulut, “Tuk tuk tuk”. Karenanya, dua anjingnya itu ia beri nama Ketuk Satu dan Ketuk Dua.

Ternyata dua anjing saja belum cukup menghibur kesedihan Bung Karno. Ia kemudian membeli burung-burung gelatik.

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno dan Cecak yang Berharap Sebutir Nasi di Sel Penjara Banceuy yang Gelap dan Lembab

“Kemudian kubeli sangkar yang besar dan menambahkan burung barau-barau sepasang, jadi dia tidak kesepian. Tetapi kesenangan itu pun tidak menyenangkan hatiku,” kata Bung Karno.

Ia lalu melepas burung-burung itu. Bung Karno merasa kasihan melihat burung-burung itu ada di dalam sangkar.

Ia pun mencoba kesibukan lain. Memperindah taman belakang rumah yang ia tinggali sebagai tahanan politik Belanda.

Ia pekerjakan dua orang kuli untuk mengangkat batu karang yang ada di jalanan menuju jalan raya. Ia kemudian mendapat bantuan dari para pemuda, sehingga pekerjaan cepat selesai.

Tapi pekerjaan memperindah halaman belakang, tetap saja tidak bisa mengobati hati Bung Karno. Ia tetap kesepian.

Oohya! Baca juga ya:

Food Estate, Bung Karno: Petani Harus Punya 10 Hektare Lahan, Bagaimana Food Estate Prabowo?

“Kepedihan dalam hati masih tetap bersarang,” ujar Bung Karno.

Ia pun mengadakan kegiatan debat kelompok setiap malam minggu. Temanya bermacam-macam.

Ada tema teori evolusi Darwin. Ada pula tema bahan pangan, lebih baik beras atau jagung? Dan sebagainya.

Ia juga menyibukkan diri dengan menulis artikel, tetapi dengan nama samaran. Tak ada mesin ketik, ia menulis dengan tangan. 

Namun karena tulisan tangan Bung Karno sudah dikenali, ia mengakalinya dengan menulis memakai tangan kiri. 

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams (1986, cetakan keempat)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]