Bung Karno Berbicara tentang Tata Tertib di Masjid, Kini Menjelang Ramadhan Ramai Soal Pengeras Suara dan Tidur di Masjid
Pengeras suara kembali diperbincangkan menjelang Ramadhan tahun ini. Pangkalnya adalah Menteri Agama yang mengatur penggunaan pengeras suara luar selama bulan Ramadhan.
Dewan Masjid Indonesia menyebut ada 800-an masjid dan mushala di Indonesia. Lokasinya ada yang di tengah-tengah 100 persen lingkungan Muslim, ada pula yang berada di tengah lingkungan yang beragam.
Lalu lagi ramai pula dengan adanya takmir-takmir masjid yang melarang tidur di masjid. Bagaimana Bung Karno dulu berbicara tentang tata tertib di masjid?
Oohya! Baca juga ya:
Samin, Oposisi tak Berlumuran Darah di Bulan Suro Kalender Jawa Islam Sultan Agung
Pada 6 Maret 1957, Bung Karno menyatakan perlunya membangun masjid yang besar di Jakarta. Masjid itu akan dinamai Masjid Istiqlal.
“Karena itu, usaha untuk membangun Masjid Istiqlal harus dipergiat, dan harus disokong oleh seluruh masyarakat Jakarta. Bahkan sokongan itu harus diberikan oleh masyarakat dari seluruh tanah air kita,” kata Bung Karno.
Masjid, menurut Bung Karno adalah tempat untuk memuliakan asma Allah. Karenanya, bangunannya harus tahan lama. “Yang bisa tahan seribu tahun,” kata Bung Karno.
Bagi Bung Karno, membangun masjid jangan sekadar membangun. Tapi harus juga bisa memberikan kebanggaan.
“Saya doakan agar supaya Allah SWT memberi kepada kita membuat satu bangunan besar untuk memuliakan asma-Nya, bukan bukan saja asma-Nya, tetapi juga nama daripada bangsa Indonesia,” kata Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Sultan Agung, Kalender Jawa-Islam, dan Gerebeg Puasa
Pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal dilakukan pada 24 Agustus 1961. Sebelum membangun Masjid Istiqlal, Bung Karno terlebih dulu membangun masjid Baiturrahim di lingkungan Istana Negara pada 1958.
Untuk memuliakan asma Allah itu, bagaimana tata tertib memanfaatkan masjid menurut Bung Karno? Setelah shalat Jumat di Masjid Baiturrahim pada 3 Maret 1961, Bung Karno memberikan tuntunan mengenai tata tertib di dalam masjid.
Saat itu Bung Karno bicara soal umat Islam perlu berdiri tegap, tegak, dan sigap. “Jiwa kita tunduk, tapi badan kita tegap. Tapi bukan tegap kurang ajar,” kata Bung Karno.
Kurang ajar kpada Allah, menurut Bung karno sama sekali tidak diperbolehkan. Ia segera menegaskan bahwa Allah dan Nabi Mauhammad menghendaki umat Islam tegap, tegak, sigap, untuk berani melihat dunia.
Di dalam masjid, kata Bung Karno, ada khatib yang memberi khutbah Jumat. “Khutbah tu adalah nasihat. Memberikan nasihat kepada kita,” kata Bung Karno.
Di dalam masjid, kata Bung Karno, ada pula bilal, yaitu orang yang berazan. Tapi Bung Karno segera meluruskan bahwa penyebutan itu salah.
Oohya! Baca juga ya:
Roro Mendut, Beda Nasib Pembantu Sultan Agung dan Bung Karno dalam Mencari Istri
Orang yang berazan, kata dia, adalah muazin. Bilal adalah nama muazin pertama dalam sejarah Islam.
Ketika bicara azan dan muazin, Bung karno tidak menyinggung soal pengeras suara masjid yang kini sedang ramai dibicarakan. Ia memberikan tuntunan tata tertib ketika azan dikumandangkan oleh muazin.
“Kalau muazin masih berazan, saya minta semua mengikuti ucapannya itu,” kata Bung Karno.
Ketika khatib menyampaikan khutbah, Bung Karno meminta agar jamaah melihat kepada khatib. “Mata kita itu ditujukan semua kepada khatib,” kata Bung Karno.
Bung Karno mengaku sering menyaksikan, saat khatib berkhutbah jamaah tunduk. “Itu tidak menurut sunah Nabi,” kata Bung Karno.
Oohya! Baca juga ya:
Presiden Ini Dicapreskan Lagi oleh Golkar tapi Pilih Mundur, Sikapnya Menuai Pujian
Ia meminta agar badan tegap, mata bersinar memperhatikan isi khutbah. jadi, benar-benar mennyimak ketika khatib berkhutbah.
“Memperhatikan segenap nasihat khatib semuanya dengan badan yang tegap, mata yang bersinar memperhatikan segenap nasihat daripada khatib itu, tetapi jiwa kitalah yang tunduk kepada Allah SWT,” kata Bung Karno.
Ia juga memberikan panduan tata tertib kepada khatib. Salah satunya tidak melantur isi khutbahnya.
“Khutbah itu jangan melantur-lantur panjang tidak karuan, tapi hendaknya singkat, bersemangat, [...] dimengerti oleh semua yang dinasihati,” kata Bung Karno.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Bung Karno Mentjari dan Menemukan Tuhan, karya HA Notosoetardjo (1964, cetakan ketiga)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]