Kendeng

Samin, Oposisi tak Berlumuran Darah di Bulan Suro Kalender Jawa Islam Sultan Agung

Rendra memerankan tetua masyarakat Samin dalam film Lari dari Blora. Di zaman penjajahan, Samin menjadi oposisi tak berlumuran darah. Bulan Suro kalender Jawa Islam menjadi era baru.

Namanya Samin. Pada 1907 memiliki pengikut 3.000 orang dan mengumumkan akan tiba era baru yang mengakhiri kekuasaan Belanda di Jawa pada bulan Suro, bulan pertama dalam kalender Jawa Islam.

Gerakan “oposisi” Samin, kata Denys Lombard, bertahan lebih dari 30 tahun dengan gerakan inti menolak membayar pajak selama selama menunggu datangnya bulan Suro. Pada bulan Suro, Samin akan menggantikan penguasa Belanda.

Dalam kalender Jawa Islam yang disusun Sultan Agung, dan 1 Suro 1837 jatuh pada 14 Februari 1907. “Berbeda dengan gerakan lain yang berlumuran darah, gerakan Samin ini tidak minta korban seorang pun, namun berbekas dalam laporan-laporan resmi yang tebal,” kata Denys Lombard.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Sultan Agung, Kalender Jawa-Islam, dan Gerebeg Puasa

Samin merupakan abangan yang pada 1890 mulai mengajarkan Ngelmu (Ilmu) Nabi Adam di wilayah Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Dalam hal kepemilikan, kata Denys Lombard, Samin mengajarkan: lemah padha nduwe, banyu padha nduwe, kayu padha nduwe (tanah, air, dan kayu adalah milik semua orang).

Sebelum bulan Suro tiba, Belanda menangkapnya lalu membuangnya ke Padang. Ia meninggal di Padang pada tahun 1914, tetapi gerakan oposisi Saminisme tidak padam.

“Setelah pajak dinaikkan pada 1914, muncul lagi kegiatan kaum Samin. Mereka pada umumnya tidak mau melunasi pajak maupun menjalankan kerja rodi yang dituntut oleh pemerintah kolonial,” ujar Denys Lombard.

Saminisme mendarakan gerakannya pada harapan munculnya Ratu Adil. “Kalau Ratu Adil datang, akan tiba suatu masa di mana semua orang akan sama rasa sama rata,” kata Denys Lombard.

Samin lahir di Randublatung, Blora, sekitar tahun 1859. Ia tergolong sikep, yaitu petani kaya, meski tanahnya hanya tiga bau (3/4 hektare).

Oohya! Baca juga ya:

Roro Mendut, Beda Nasib Pembantu Sultan Agung dan Bung Karno dalam Mencari Istri

Ia buta huruf, tidak pernah bepergian, tetapi memiliki pengetahuan mengenai wayang. Ia merepresentasikan dirinya sebagai Bima.

Bima merupakan tokoh kedua dalam keluarga Pandawa. Ia menjadi tokoh yang paling kuat, yang menjadi tokoh penyelamat.

Di dalam keluarganya, Samin merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Laki-laki semua, seperti halnya keluarga Pandawa.

Sejak zaman Mataram, para sikep ini menjadi sasaran bagi pengumpul pajak. Di antara mereka kemudian banyak yang menjadi pengumpul pajak juga dengan imbalan seperlima dari jumlah pajak yang berhasil mereka kumpulkan,

Ketika mereka sedang menikmati hal itu, Sultan Hamengkubuwono II memihak Belanda. Pajak dinaikkan, dan hal itu memberatkan mereka.

“Kelompok sikep amat terpukul begitu melihat pemerintahan kolonial menyusun administrasinya secara lebih rapid an langsung mencekik mereka secara ekonomi, karena mereka justru sedang naik daun dan mulai menimbun kekayaan,” kata Denys Lombard.

Oohya! Baca juga ya:

Presiden Ini Dicapreskan Lagi oleh Golkar tapi Pilih Mundur, Sikapnya Menuai Pujian

Maka, kenaikan pajak pada awal abad ke-19 membuat para sikep melakukan pembangkangan. Mereka kemudian bergabung dengan Pangeran Diponegoro melakukan Perang Jawa.

Namun, perang ada masanya. Ketika Perang Jawa berakhir, para sikep ini kembali ke pangkuan pemerintah kolonial Belanda.

Maka, sejak muncul toko Samin Surontika, para sikep kembali melakukan pemberontakan. Kali ini pemberontakan pasif, lewat gerakan oposisi tidak membayar pajak.

Hingga di masa kemerdekaan pun, Saminisme masih ada. Secara budaya, masyarakat penganut Saminisme sampai hari ini masih ada di Blora dan Pati.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Nusa Jawa: Silang Budaya, karya Denys Lombard (2005)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]