Lincak

Sultan Agung, Kalender Jawa-Islam, dan Gerebeg Puasa

Gerebeg puasa di Keraton Yogyakarta. Gerebeg merupakan tradisi Hindu Jawa yang kemudian disesuaikan dengan kalender Jawa-Islam yang disusun Sultan Agung.

Sultan Agung tidak ingin mengikuti kalender yang digunakan Kompeni. Maka, ia tetap menggunakan kalender Jawa, tetapi kemudian memadukan dengan kalender Islam.

“Pada tahun 1633, ia memutuskan untuk menggunakan penanggalan bulan yang terdiri atas 354 atau 355 hari,” ujar Denys Lombard. Jadilah kalender Jawa-Islam.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Maka, acara-acara tradisi keraton di kemudian hari diselaraskan dengan penanggalan Islam. Ada gerebeg puasa, gerebeg mulud, gerebeg besar.

Oohya! Baca juga ya:

Hari Perempuan Internasional, Kiara: Perempuan Nelayan Korban Perampasan Ruang Laut

Angka tahun kalender Sultan Agung ini tidak mengikuti tahun Hijriyah. Melainkan tetap mengikuti tahun Jawa.

Bulan-bulan dalam tahun Jawa yang dipadukdn dengan kalender Islam ada 12. Yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud,
Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Apit, Besar.

Jumlah hari ada lima. Yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon.

Pada awalnya kalender Jawa mengikuti kalender Hindu dengan nama Saka. Tahun Saka dalam legenda Jawa dimulai sejak kedatangan Aji Saka di Jawa pada tahun 78 Masehi. Hitungannya masih menggunakan hitungan matahari.

Oohya! Baca juga ya:

Roro Mendut, Beda Nasib Pembantu Sultan Agung dan Bung Karno dalam Mencari Istri

"Setelah 1633 tarikh Saka yang tua sekali yang dimulai pada 78 Masehi dilanjutkan tetapi lanjutannya ini tidak dengan perhitungan tahun matahari melainkan dengan perhitungan tahun bulan yang terdiri dari 354 atau 355 hari," kata HJ de Graaf

Sultan Agung mengganti sistem penanggalan ini setelah mengjungi Tembayat. Kunjungan ke Tembayat dilakukan untuk meredam rencana pemberontakan kalangan mistik Islam yang berpusat di Tembayat.

Mereka menyamar keluar masuk desa untuk mengumpulkan kekuatan melakukan pemberontakan. Tapi rencana ini bisa dipadamkan sebelum mereka benar-benar melakukan pemberontakan.

Tembayat masuk wilayah Pajang, negeri yang kemudian dikslahkan oleh Mataram. Di sana ada makam Sunan Bayat.

Apa makna perubahan sistem pensnggalan ini bagi Mataram? "Bagaimanapun, perubahan ini dapat dianggap sebagai perwujudan kesadaran kemusliman yang semakin kuat," ujar De Graaf.

Berbagai perayaaan tradisi di Mataram kemuduan berbeda dengan wajtu perayaan ketika masih menggunakan penanggalan matahari. Itu terjadi karena setiap tahun jumlah hari menusut 10 hari dati perhitungan penanggalan matahari.

Oohya! Baca juga ya:

Presiden Ini Dicapreskan Lagi oleh Golkar tapi Pilih Mundur, Sikapnya Menuai Pujian

"Untuk menemukan padanannya dengan tahun Masehi, tidak mungkin lagi ditambahkan begitu saja angka 78, tetapi kita harus melihat tabel kesesuaian," kata Denys Lombard.

Mataram pecah menjadi Yogyakarta dan Suarakarta. Di Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono I mengadakan perayaan-perayaan menggunakan kalender Jawa-Islam ini.

Perayaan gerebeg dan sekaten mengikuti sistem penanggalan yang disusun Sultan Agung. Tradisi gerebeg ada tiga jenis: gerebeg pasa (puasa), gerebeg mulud, gerebeg besar.

Gerebeg puasa (pasa) diadakan pada 1 Syawal, menyambut berakhirnya bulan puasa dan datangnya hari Lebaran. Gerebeg pasa dikenal juga sebagai gerebeg syawal dan gerebeg bada.

Sekaten dan gerebeg mulud diadakan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad pada bulan Mulud. Dalam kalander Islam, bulan Mulud adalah Rabiul Awal.

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno Beli 50 Burung Sebelum Bisa Menikahi Fatmawati, untuk Apa?

Gerebeg besar diadakan pada bulan Besar. Dalam kalender Islam, bulan Besar sama dengan bulan Zulhijah.

Acara gerebeg merupakan tradisi peninggalan Hindu-Jawa. Ini merupakan tradisi mengucap syukur atas berlimpahnya hasil pertanian.

Maka dalam acara gerebeg selalu disediakan gunungan yang disusun dari berbagai hasil bumi. Gunungsn itu diarak lsku diperebutkan.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Puncak Kekuasaan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
- Nusa Jawa: Silang Budaya, karya Denys Lombard (2005)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com