Kakek Sultan Agung Dibujuk Agar Membolehkan Anaknya Ikut Joget, Adipati Tuban Dibuat Melongo Melihat Keahlian Anak Pendiri Mataram Itu
Adipati Tuban mengadu kepada kakek Sultan Agung, Panembahan Senopati. Adipati Tuban itu sudah membujuk Raden Ronggo untuk joget, bahwa anak muda yang tampan sudah saatnya joget ditonton orang, tetapi tidak pernah berhasil bujukannya.
Sewaktu melamar putri Ki Ageng Giring di Gunung Kidul, Senopati sudah memiliki dua istri, yaitu Putri Prawoto di Prawoto, Demak, dan Putri Kalinyamat, di Kalinyamat, Jepara. Putri Kalinyamat ini adalah putri yang dipingit oleh Sultan Pajang Hadiwijoyo.
Dari Putri Kalinyamat, Senopati memiliki anak tertua, diberi nama Raden Ronggo. Ketika Senopati sudah memiliki sembilan anak, Raden Ronggo berusia 10 tahun. Adipati Tuban melongo setelah Senopati membolehkan Raden Roonggo ikut berjoget, mengapa?
“Terkenal sangat perkasa, pemberani, dan teguh kukuh. Ia adalah bantengnya keraton,” tulis Babad Tanah Jawi menggambrakan sosok Raden Ronggo.
Oohya! Baca juga ya:
Desak Anies di Museum Diponegoro Dibatalkan, Ada Tembok Jebol di Lokasi Museum
Suatu hari, Sultan Pajang mengutus anaknya, Raden Benowo, berkunjung ke Mataram bersama adipati-adipati mancanegara, di antaranya Adipati Tuban. Ia mendapat tugas menyelidiki rumors mengenai rencana Senopati hendak memusuhi Sultan Pajang.
“Terserah Dina bagaimana akan menyampaikan laporan kepada Sultan. Raja tajam penghlihatannya dan aku memperkirakan, Paduka Raja tidak akan kesulitan menerka segala perilakuku. Sang Rajalah pemilik segala berkah Mataram dan tidak akan berpikir kalau aku yang memilikinya,” kata Senopati kepada Benowo.
Rombongan Benowo pun dijamu dengan suguhan yang memuaskan Benowo dan rombongan. Benowo pun menyatakan kepada pada adipati mancanegara jika rumors Senopati hendak memusuhi Sultan Pajang sebagai kabar yang tidak benar.
Benowo meganggap, suguhan yang disajikan kepada mereka adalah bukti keramahan Senopati yang tetap menempatkan Pajang sebagai sesembahan Mataram. Mereka pun menikati pesta jamuan itu.
Oohya! Baca juga ya:
Cerita Diponegoro tentang Amangkurat II yang Batal Naik Haji Setelah Kejatuhan Cahaya dari Langit
Tiba-tiba, datang Adipati Tuban kepada Senopati. Ia bertanya mengenai tarian tameng yang disukai Senopati. Ia ingin tahu watak yang disukai Senopati dan tombak apa yang dipakai dalam tarian itu.
Senopati menjelaskan, saat menari tameng, abdi dalem Mataram menegnakan kain sonder. Pelepah pisang dijadikan tombaknya.
“Penggawa Mataram orang desa semua, pengetahuannya hanya nasi dan lauk pauk. Tombaknya pelepah pisang yang dipangkas, pangkal tombaknya dibuat tumpul,” jelas Senopati kepada Adipati Tuban.
Adipati Tuban lalu memamerkan kehebatan orang Tuban yang ketika menari menggunakan tombak sungguhan. Para penari akan menadahkan dadanya, yang lain menombakkan timbaknya ke dada, bergantian.
“Sungguh-sungguh tombak-menomnak, tidak ada yang terkalahkan. Tidak ada yang bisa menandingi orang Tuban meari-nari,” tulis Babad Tanah Jawi.
Senopati pun menanggapi penjelasan Adipati Tuban itu. Orang Mataram baru berlatih tombak, jika menari menggunakan tombak sungguhan pasti masih pada kaku gerakannya.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Ingin Naik Haji, Mengapa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Malah Mengirimnya ke Manado?
Senopati pun meminta agar orang-orang Tuban membawakan tari tameng untuk dilihat oleh orang-orang Mataram. Atraksi tombak memukau orang-orang Mataram. Raden Ronggo pun –yang saat itu berusia 12 tahun-- menggamit tangan Senopati, meminta izin diperbolehkan ikut menari.
Senopati tidak mengizinkan Raden Ronggo ikut menari menggunakan tombak sungguhan. Raden Ronggo mengaku sanggup bermain tombak dalam tarian seperti yang dibawakan oleh orang-orang Tuban itu, tetapi Senopati tetap mencegahnya karena tidak pantas untuk anak seusia 12 tahun.
Namun, Adipati Tuban malah membujuk Raden Ronggo untuk ikut joget. “Ayolah putraku, tirulah orang Tuban, tetapi ingat, janganlah bermaksud meladeni karena tidak mungkin akan menang,” kata Adipati Tuban.
Ia pun meminta orang-orang Tuban melayani tarian Raden Ronggo. “Seandainya lehernya kena senjata, lehermu kucekik,” kata Adipati Tuban memperingatkan orang-orang Tuban.
Tapi, Raden Ronggo mematuhi ayahnya, Senopati. Ia tidak mau ikut menari meski terus dibujuk oleh Adipati Tuban. Adipati Tuban pun mengeluhkan hal itu kepada Senopati.
Oohya! Baca juga ya:
Mendampingi Diponegoro yang Jadi Tawanan Belanda, Mengapa Punakawan Roto Menangis di Ungaran?
“Putra Kakang, Raden Ronggo, kusuruh berkali-kali tidak mau bergerak karena takut kepada Kakang. Nah, perintahkanlah segera Raden Ronggo itu, dan semoga puas dan senang. Orang muda, tampan, sudah saatnya menari ditonton orang,” kata Adipati Tuban kepada Senopati.
Senopati pun meluluskan permintaan Adipati Tuban. Ia pun memerintahkan Raden Ronggo untuk segera ikut berjoget.
Tameng dan tombak segera diambil. Empat orang menggotong tameng baja untuk Raden Ronggo. Sedangkan dua orang lagi menggotong tombak.
Raden Ronggo pun segera beraksi dengan tameng dan tombak itu. Tombak yang harus digotong oleh dua orang itu dilemparkan ke atas oleh Raden Ronggo.
Dengan keahliannya yang mumpuni, anak dari kakek Sultan Agung itu pun menyambut tombak yang melesat dari atas kembali kepadanya. Atraksi terakhirnya, tombak melesat ke dada Raden Ronggo, dihalangi oleh tameng.
Tameng dan timbak beradu mengeluarkan nyala dan kemudian melebur. Adipati Tuban pucat menyaksikannya.
Oohya! Baca juga ya:
Jenderal De Kock kepada Diponegoro, Berakrab-akrab Dahulu Menangkap Kemudian
Orang-orang Tuban menyaksikan tanpa berkedip. Mereka baru melihat senjata seperti itu di Tanah Jawa dan baru kali itu pula menyaksikan keahlian Raden Ronggo yang tiada tandingannya.
“Hai orang Tuban, bersungguh-sungguhlah menari, selesaikan pergelaranmu,” kata Adipati Tuban menutupi ketakjubannya pada penampilan Raden Ronggo.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Jilid 1, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Saparti Djoko Damono dan Sonya Sondakh
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]