Pitan

Desak Anies di Museum Diponegoro Dibatalkan, Ada Tembok Jebol di Lokasi Museum

Tembok jebol di Museum Diponegoro Tegalrejo, Yogyakarta. Pengelola museum cabut izin acara Desak Anies di museum ini.

Selasa (23/1/2024) siang, Anies Baswedan seharusnya hadir di acara Desak Anies yang dijadwalkan di Museum Diponegoro, Tegalrejo, Yogyakarta. Namun, acara di museum itu dibatalkan, panitia memindahkan ke Rocket Convention Hall, Sleman.

Lokasi Museum Diponegoro di Jl HOS Cokroamintoto, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta, dulu merupakan lokasi kediaman Diponegoro. Pada saat pasukan Belanda ingin menangkap Diponegoro pada Juli 1825, Belanda membakarnya.

Di Museum Diponegoro yang dikelola TNI AD itu ada tembok pagar yang terlihat seperti dijebol. Disebut tembok jebol. Apakah penyelenggara Desak Anies menjebolnya?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Menikahi Maduretno, Bagaikan Dewa Wisnu dan Dewi Sri

Jubir Timnas AMIN Iwan Tarigan menjelaskan izin acara Desak Anies di Museum Diponegoro sudah dikantongi penyelenggara, Ubah Bareng Yogyakarta. Namun, dicabut mendadak pada saat penyelenggara sedang mempersiapkan lokasi pada Senin (22/1/2024) malam (republika.co.id, 23/1/2024).

Tembok jebol itu tentu sudah ada sebelum penyelenggara Desak Anies tiba di lokasi. Bahkan sudah ada 199 tahun lalu.

Pada saat itu pasukan Belanda dibantu dengan pasukan Danurejan menyerbu kediaman Diponegoro. Mereka ingin menangkap Diponegoro yang menentang proyek pelebaran jalan yang digagas oleh Patih Danurejo dan Residen Yoygakarta.

Proyek pelebaran jalan di Tegalrejo mengenai tanah milik Diponegoro, tetapi Patih Danurejo tidak pernah memberi tahu Diponegoro. Tahu-tahu, anak buah Patih Danurejo memasang patok-patok sebagai batas pelebaran.

Para petani penggarap sawah Diponegoro pun segera mencabut patok-patok itu. Tapi, anak buah Patih Danurejo memasangnya kembali. Belanda mengajak pembahasan penyelesaian, tetapi Diponegoro tidak bersedia datang ke keraton. Diponegoro menginginkan pembahasand ilakukan di Tegalrejo.

Oohya! Baca juga ya:

KDRT, Pembangkangan, dan Perceraian di Jawa pada Abad ke-19

Yang terjadi, Belanda datang membawa pasukan pada Rabu, 20 Juli 1825. Terjadi perempuran ketika para pengikut Diponegoro mempertahankan kediaman Diponegoro.

Menurut laman jogjacagar.jogjaprov.go.id, lingkungan kediaman Diponegoro di Tegalrejo dilindungi tembok pagar setebal 64 sentimeter dengan tinggi lebih dari dua meter.

Diponegoro menjebol tembok selebar 187 sentimeter dengan tinggi 210 sentimeter untuk dapat meloloskan diri.

Menjelang Maghrib, Diponegoro beserta Pangeran Mangkubumi dan keluarga serta pengikutnya meloloskan diri. Diponegoro menunggang kudanya. Rumah dan masjid telah dibakar oleh Belanda.

Di masjid itu, Diponegoro seering mengaju Alquran bersama Kiai Rahmanudin sejak 1824. Semula Kiai Rahmanudin dalah penghulu Yogyakarta, tetapi pada akhir 1823 dipecat oleh sultan yang masih balita atas usul Patih Danurejo.

Kiai Rahmanudin kemudian tinggal di Tegalrejo sebelum diberangkatkan haji oleh Diponegoro. Maka, selama menunggu keberangkatan ke Makkah, Kiai Rahmanudin sering mengaji bersama Diponegoro.

Oohya! Baca juga ya:

2,5 Juta Penonton Film Siksa Neraka, Capres yang Mengumpat Apa Hukumannya? Di Komik Azab Neraka Ada Setrika Arang untuk Menghukum

“Pamanda! Lihat, rumah dan masjid kami sedang terbakar. Api menyala-nyala ke atas langit. Sekarang kami tidak mempunyai rumah lagi di atas dunia,” kata Diponegoro kepada Mangkubumi setelah berhasil lolos, menyusuri persawahan.

Satu jam kemudian, Diponegoro mencapai jalan raya dekat Sentolo. Di jalan raya itu, Diponegoro beserta rombongan pelarian melakukan shalat Magrhib. Esok hari, Kamis, 21 Juli 1825, mereka mencapai Gua Selarong.

Pada Peringatan 100 Tahun Wafatnya Diponegoro pada 1955, Muh Yamin selaku menteri pengajaran, pendidikan, dan kebudayaan, merestorasi kediaman Diponegoro di Tegalrejo dan Gua Selarong. Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku kepala daerah DIY telah menyerahkan seluruh tanah di Tegalrejo kepada pemerintah.

“Kiranya di sana akan diganti kehilangan puri dan kehilangan masjid yang terbakar,” kata Muh Yamin.

Entah bagaimana ceritanya, Pangdam Diponegoro Jenderal Surono berinisiatif melakukan restorasi juga yang kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada Agustus 1969. Kini, lokasi Museum Diponegoro di Tegalrejo menjadi milik TNI AD. Museum Diponegoro dikelola oleh Yayasan Sasana Wiratama.

Oohya! Baca juga ya:

Dua Penguasa Pesisir Utara di Masa Sultan Agung Mataram Ternyata Bukan Orang Jawa, dari Mana Mereka?

Musuem ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan nomor register 3471011003.2.2022.15. Di lokasi museum ini, menurut laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, dibangun monumen Pangeran Diponegoro. Lokasinya di tengah kompleks museum.

“Monumen tersebut merupakan pahatan relief sepanjang 20 meter dengan tinggi 4 meter, menceritakan keadaan Desa Tegalrejo tempat tinggal Sang Pangeran, perang Diponegoro, hingga saat beliau tertangkap di Magelang,” tulis kebudayaan.jogjakarta.go.id.

Lukisan diri Diponegoro dipasang di sisi barat monmen. Sedangkan di sisi timur monumen ada lukisan Diponegoro sedang menunggang kuda hitam.

“Koleksi Museum Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama antara lain berupa senjata asli laskar Diponegoro seperti tombak, bandil atau martil baja, serta patrem dan candrasa yang merupakan senjata laskar wanita,” tulis laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta.

Ada pula koleksi peralatan rumah tangga. Gamelan milik Sri Sultan Hamengku Buwono II juga disimpan di museum ini. Ada pula meriam.

Selain itu, ada pula batu comboran yang digunakan untuk tempat minum kuda. “Salah satu koleksi unggulan museum ini adalah Tembok Jebol,” tulis laman tersebut.

Oohya! Baca juga ya:

Suka Berburu, Mengapa Sultan Agung Suka Menggelar Pertarungan Harimau dan Banteng di Mataram?

Laman museum.kemdikbud.go.id menyebut Museum Diponegoro di Tegalrejo ini sebagai museum khusus, tapi belum memenuhi standar.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Pahlawan Dipanegara Berdjuang karya Sagimun MD (1965)
- Pahlawan Diponegoro karya Kementerian Penerangan RI (1955)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com