Suka Berburu, Mengapa Sultan Agung Suka Menggelar Pertarungan Harimau dan Banteng di Mataram?
Sultan Agung senang menonton pertarungan harimau dan banteng. Selain itu ada pula pertarungan berupa para penombak duduk melingkar, harimau dipancing untuk menyerang mereka.
Sultan Agung tentu saja memberi iming-iming hadiah. “Siapa yang dianggap berani mendapat penghargaan dari Raja. Ada yang diberi jabatan,, yang lain diberi wanita, atau keris, atau pakaian,” tulis HJ de Graaf mengutip catatan Gubernur Jenderal Kompeni JP Coen mengenai pertarungan harimau di Mataram.
Pada 1620, Sultan Agung yang juga senang berburu itu memerintahkan perburuan untuk menangkap 200 harimau. Perlu dua bulanan untuk mendapatkan 200 harimau itu.
Oohya! Baca juga ya:
Sunat atau Mati, Tawaran Sultan Agung kepada Orang Belanda yang Jadi Tawanan Mataram
Pada suatu hari, ia berburu di taman hutan dengan naik di atas pedati. Hari itu, bersama para pengiringnya, Sultan Agung bertemu dengan kijang jantan liar.
Sultan Agung menombak kijang ketika ketika kijang hendak menyerangnya. Meski sudah terkena tombak di dada, kijang tetap menerjang, sehingga paha Sultan Agung terkena tanduk.
Utusan Kompeni Hendrick de Haen yang berkunjung ke Mataram pada Juni 1623 tidak diterima oleh Sultan Agung ketika ia hendak menghaap. Sultan Agung sedang tidak enak badan.
“Karena pada waktu berburu, duduk di atas pedati, dalam usaha menombak seekor hewan buas, terjatuh dan terluka terluka di sisi kanan oleh hewan buas itu,” tulis De Graaf mengutip catatan De Haen.
Saat itu, De Haen hendak menghadap pada hari Sabtu, 24 Juni 1623. Dua hari kemudian, Senin, 26 Juni 1623, ia diterima oleh Sultan Agung.
Oohya! Baca juga ya:
Sarung Muhaimin dan Pakaian NTT Ganjar di Acara Debat Cawapres, Apropriasi atau Apresiasi?
Kunjungan De Haen pada Juni 1623 merupakan kunjungannya yang kedua sebagai utusan Kompeni. Sebelumnya ia lakukan pada 1622 dan baru tiba di Batavia lagi pada 7 September 1622.
Pada kunjungan pada 1623, Sultan AGung sedang menyiapkan penyerbuan Surabaya. Pada kunjungan 1622 pun, utusan Kompei datang etika Mataram juga sedang menyiapkan pengiriman pasukan ke Surabaya.
Dua tahun mendapat kunjungan utusan Kompeni, maka pada 1624 Sultan Agung berkirim surat ke Batavia menanyakan alasan Kompeni tidak mengirim utusan pada 1624. Permintaan kuda yang diajukan Sultan Agung kepada JP Coen lewat utusan Kompeni pada 1622, belum dipenuhi ketika utusan itu datang lagi pada 1623.
Adanya surat dari Sultan AGung itu, membuat Kompeni berpandangan bahwa hal itu sebagai peringatan agar Kompeni benar-benar memenuhi permintaan Mataram. Maka, pada Agustus 1624, Kompeni mengirim utusan ke Mataram.
Namun, alasan utamanya bukan karena surat dari Sultan Agung, melainkan karena Batavia terancam kehabisan beras. Karenanya, perlu segera mendatangkan beras dari Mataram.
Utusan Kompeni itu tiba di keraton pada September 1624. Utusan itu harus menunggu sampai sembilan hari untuk bisa diterima oleh Sultan Agung, kendati utusan ini membawa hadiah kuda yang diinginkan Sultan Agung.
Kepada utusan Kompeni, Sultan AGung mengingatkan Kompeni agar tidak membantu Surabaya. Pun tidak boleh berdagang dengan orang Surabaya, karena Surabaya adalah musuh Mataram.
Oohya! Baca juga ya:
Menteri KKP akan Buka Lagi Ekspor Benih Bening Lobster, Kiara Sebut KKP Makin Melangkah Mundur
Tapi ketika Sultan Agung meminta bantuan untuk menghadapi Surabaya, ternyata Kompeni juga menolak. Itulah sebabnya, setelah Mataram berhasil menaklukkan Surabaya pada 1625, sasaran utama penyerbuan Mataram berikutnya adalah Batavia.
Bantang harus bertarung dengan Harimau. Bantang adalah simbol kekuatan Jawa, harimau adalah simbol kekuatan Kompeni.
Pertarungan harimau banteng dialun-alun keraton ini, di kemudian hari terus berlanjut hingga abad ke-19, meski Mataram telah pecah menjadi Yogayarka dan Surakarta.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]