Pitan

KDRT, Pembangkangan, dan Perceraian di Jawa pada Abad ke-19

Perempuan Jawa pada abad ke-19 menikah karena dijodohkan. Tapi ada kasus, jika terjadi KDRT, perempuan Jawa berani melakukan pembangkangan dan perceraian.

Perempuan Jawa pada abad ke-19, menikah karena dijodohkan. Kendati begitu, ternyata mereka bisa melakukan perceraian.

Jika tidak menuntut cerai, yang dikerjakan adalah melakukan pembangkangan kepada suaminya yang lemah. Raden Ayu Yudokusumo, istri bupati Grobogan-Wirosari, pernah melakukannya agar Grobogan-Wirosari tidak dikuasai Inggris pada 1812, ketika suaminya memilih menyerah kepada Inggris.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Raden Ayu Notodiningrat berani menuntut cerai karena suaminya melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tuntutan itu diajukan kepada eyangnya, Mangkunegoro II, dan dikabulkan.

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Menyamar Sebagai Syekh Abdul Rahim pada Usia 20 Tahun, Menyukai Makrifat tetapi Masih Sering Tergoda Wanita

Raden Ayu Yudokusumo merupakan putri Hamengkubuwono I. Suaminya semula bertuga di Grobogan-Wirosari sejak 1792.

Pada 1812 dipindah ke Muneng, daerah yang ada di antara Ngawi dan Caruban. Muneng dibdntuk setelah Inggris menguasai Keraton Yogyakarta.

Ketika Inggris akan mengambil wilayah Grobogan-Wirosari, ia menolak ikut suaminya pergi ke Muneng. Ia baru akan pergi jika Hamengkubuwono III yang memberi perintah.

Ketika suaminya memiliki banyak utang pada orang Cina yang mengelola gerbang tol, Raden Ayu Yudokusumo pun berani garang kepada orang Cina. Pada Perang Diponegoro, ia memimpin pasukan di Madiun dan pesisir utara.

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Ingin Naik Haji, Mengapa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Malah Mengirimnya ke Manado?

Bagaimana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ia alami sehingga berani menuntut cerai? Suaminya, bupati Probolinggo RT Notodiningrat, tidak mempercayainya dan jika marah menyiksanya dan menjelek-jelekkan dirinya dan keluarganya.

Setiap uang rumah tangga yang diberikan kepadanya tidak tersisa, ia dicurigai. Suaminya juga sering menyebutnya sebagai penari jalanan.

Dalam pernikahan pada abad ke-19, suami tidak boleh mengabaikan istri. Apalagi menyakiti secara fisik.

Harta tang diperoleh suami selama menikah akan dibagi dua ketika terjadi perceraian. Tapi, istri boleh berbisnis atas nama diri sendiri.

Perceraian, saat itu bisa terjadi karena talak, taklek, dan mancal. Talak terjadi karena suami mengabaikan istri, taklek terjadi dengan dasar pada saat upacara oernikahan, dilakukan janji isyri akan mendapatkan perceraian jika suami melakukan KDRT.

Sedangkan mancal, terjadi karena si istri membeli kebebasannya sendiri. Yaitu dengan cara mengembalikan mas kawin dari suami, dengan nilsi lebih dari mas kawin yang diserahkan suami.

Oohya! Baca juga ya:

Jengkel Ditipu De Kock, Diponegoro Marah akan Dinobatkan Jadi Sultan oleh Belanda

Perceraian mancal harus seizin suami. Penghulu akan mengumumkan pembatalan pernikahannya di Masjid Agung.

Kasus tuntutan perceraian Raden Ayu Notodiningrat juga diputus oleh penghulu. Pengadilan dilakukan di Kasunanan Surakarta.

Putusan tuntutan cerai Raden Ayu Notodiningrat dibuat dengan mrngacu pada kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Yaitu kasus tuntutan cerai Ratu Bendoro, putri Hamengkubuwono I, kepada Raden Mas Said pada 60 tahun sebelumnya, yaitu pada 1763.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII - XIX karya Peter Catey (2024, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]