Pitan

Diponegoro Menyamar Sebagai Syekh Abdul Rahim pada Usia 20 Tahun, Menyukai Makrifat tetapi Masih Sering Tergoda Wanita

Pada usia 20 tahun (1805), Diponegoro sering berkelana memakai nama Syekh Abdul Rahim. Tapi kemudian ia mendapat bisikan agar menggantinya menjadi Abdul Hamid.

Sepeninggal Sultan Hamengkubuwono I, Diponegoro sering berkelana, meninggalkan nenek buyutnya, istri Hamengkubuwono I, di Tegalrejo. Usianya 20 tahun (1805), sangat menyenangi makrifat, tetapi ia mengakui masih sering tergoda wanita.

Saat mengelana, Diponegoro memakai nama Syekh Abdul Rahim. Jika harus ke keraton, ia tetap memakai nama Diponegoro. Dalam pengelanaannya, ia sering berkunjung ke masjid, menyatu dengan para santri, melakukan tapa.

Diponegoro melakukannya dengan cara menyamar, sehingga jarang yang mengenalinya. “Seandainya diketahui oleh gurunya para santri, Syekh Abdul Rahim lalu pergi,” tulis Diponegoro dalam babadnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Diponegoro Ingin Naik Haji, Mengapa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Malah Mengirimnya ke Manado?

Ia senang berkumpul dengan santri-santri dari rakyat jelata dan sama menderitanya. Jika bisa berkelana dari pesantren ke pesatren, ia pergi ke hutan.

“Gunung, lembah, jurang, gua, terkadang menyusur sepanjang pantai, kalau bulan Ramadhan munajat di gua yang sepi, Syekh Abdul Rahim duduk di dalam gua, tengah malam cobaan Allah datang,” tulis Diponegoro.

Lama-lama Diponegoro bisa menghalau godaan itu. Ketika dia sudah tahan godaan itu, datanglah sosok pria yang bercahaya seperti bulan purnama, berdiri di depannya.
Dialah Sunan Kalijaga. Diponegoro pun berkeluh kesah kepadanya.

“Abdul Rahim, sudah takdir Allah, kau besok akan menjadi raja bayangan,” kata Sunan Kalijaga. Setelah berkatabegitu, sosok Sunan Kalijaga pun lenyap dari pandangan Diponegoro.

Diponegoro terharu mendengar pesan itu, tetapi menyesali dirinya karena tidak sempat melakukan sembah sungkem kepada Sunan Kalijaga. Esok harinya, Syekh Abdul Rahim melanjutan pengelanaan naik turun gunung.

Tiba di Bengkung, Abdul Rahim isrirahat selama tujuh hari. Ia shalat Jumat di masjid pajimatan Imogiri.

Mengetahui ada Diponegoro, jamaah pun berebut untuk berjabat tangan. Selesai shalat Jumat, juru kunci masjid menawari Diponegoro menginap semalam, seperti biasanya.

Oohya! Baca juga ya: Jengkel Ditipu De Kock, Diponegoro Marah akan Dinobatkan Jadi Sultan oleh Belanda

Esok harinya, Diponegoro melanjutkan pengelanaan sebagai Syekh Abdul Rahim lagi. Sampai di Gua Siluman, ia meenginap semalam.

Esok hari melanjutkan perjalanan kembali, lalu menginap dua malam di Gua Sigala-gala. Esok hari berangkat lagi, hingga tiba di Gua Langse dan Syekh Abdul Rahim bertapa selama 2,5 bulan.

Sosok Ratu Laut Selatan hadir di hadapan Syekh Abdul Rahim. Namun, Ratu Laut Selatan sudah tahu jika jiwa Diponegoro sedang wening, sehingga tidak mungkin digoda.

Dengan jiwa yang wening itu, Diponegoro juga bis amelihat kehadiran ratu Laut Selatan. Tapi karena Ratu Laut Selatan tak mungkin bisa menggoda Diponegoro saat itu, ia memilih pergi.

Esok harinya, Diponegoro pergi ke pantai Parangtritis, lalu ke Parangkusumo. Duduk di sebuah batu, Diponegoro bertafakur.

“Syekh Abdul Rahim, bergantilah menjadi Abdul Hamid.” Diponegoro mendengar suara gaib yang memerintahkan agar mengganti namanya menjadi Abdul Hamid.

“Kurang dari tiga tahun lagi, rusaknya negeri Yogyakarta sudah takdir Allah. Mulai hancurnya Tanah Jawa kurang tiga tahun lagi dan sengsara kemudian. Kuberi pertanda, sudah menjadi jalan hidupmu, Abdul Hamid. Panah Sarutomo ini bawalah.” Suara gaib itu terdengar lagi oleh Diponegoro.

Oohya! Baca juga ya: Mendampingi Diponegoro yang Jadi Tawanan Belanda, Mengapa Punakawan Roto Menangis di Ungaran?

Lalu, suara gaib itu pun menyampaikan pesan lagi. Ia diminta waspada terhadap Belanda, menjaga penobatan ayahnya sebagai sultan dan jangan menerima jika diangkat menjadi putra mahkota.

Diponegoro tidak melihat sosok yang bersuara itu. Saat menatap langit, ia melihat cahaya yang kemudian jatuh di hadapannya. Panah Sarutomo yang bergentuk cundrik (keris kecil) tertancap di batu, lalu diambilnya.

Selama Perang Diponegoro berlangsung, Ki Sarutomo dibawa oleh Raden Ayu Maduretno, istri Diponegoro. Setelah Maduretno meninggal pada 1927, Ki Sarutomo dilebur dengan lembing Ki Barutubo dan keris Ki Abijoyo menjadi keris baru. Ia beri nama Ki Bondoyudo.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Diponegara karya Diponegoro, penerjemah Gunawan dkk (2016)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam