Pitan

Diponegoro Menikahi Maduretno, Bagaikan Dewa Wisnu dan Dewi Sri

Diponegoro menikahi Maduretno, putri yang ia lihat di keputren. Ia begitu tertegun melihat kecantikannya, sehingga ketika duduk di pelaminan ia gambarkan bagai Dewa Wisnu dan Dewi Sri.

Sudah tiga tahun Hamengkubuwono III memerintah. Diponegoro menyebut Yogyakarta sudah makmur. Karenanya, Hamengkubuwono III pun menyarankan Diponegoro untuk segera menikah.

Diponegoro menceritakan kemeriahan pernikahannya di babad yang ia tulis. Ketika duduk di pelaminan, Diponegoro menggambarkan dirinya dan istrinya bagaikan Dewa Wisnu dan Dewi Sri. 

Sebelum sampai di acara pernikahan, Hamengkubuwono III menyuruh Diponegoro meminta pendapat kepada sang nenek yang berada di keputren mengenai pernikahan itu. Saat masuk keputren, Diponegoro melihat sosok perempuan, yang ternyata Ratu Maduretno, yang sedang berdiri di pintu keluar keputren yang mengarah ke tempat semedi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: KDRT, Pembangkangan, dan Perceraian di Jawa pada Abad ke-19

Lama Diponegoro melihatnya dari belakang, hingga akhirnya sosok perempuan itu menengok ke belakang. Keduanya saling bertatap. Diponegoro tertegun, malu, akhirnya hanya bisa duduk jongkok, bagai anak panah yang remuk sebelum mencapai sasaran.

“Di dunia ada wanita seperri ini, semua serba pantas tidak ada yang melebihi, siapakah yang mempunyai anak ini?” tanya Diponegoro dalam batin.

Diponegoro tertegun begitu lama, hampir lupa pada tugas dari ayahnya. Ia pun segera menemui neneknya.

“Nak, kau disuruh apa oleh ayahmu,” tanya nenek Diponegoro, yaitu istri dari Hamengkubuwono II.

Diponegoro pun segera menjelaskan pesan dari ayahnya mengenai pendapat pernikahan. Pulang dari keputren, Diponegoro terbayang-bayang pada sosok perempuan yang ia temui di keputren.

Ketika sudah berada di tegalrejo pun wajah sosok perempuan itu masih terbayang-bayang. “Walau keliling jagad, aku belum melihat ada cahaya wanita yang mirip seikit saja,” kata Diponegoro.

Membawa pesan Hamengkubuwono III, Ratu Kencono mengunjungi Tegalrejo. Ia menawari Diponegoro untuk bersedia dinikahkan.

Oohya! Baca juga ya: Mendampingi Diponegoro yang Jadi Tawanan Belanda, Mengapa Punakawan Roto Menangis di Ungaran?

Diponegoro mengiyakan, karena belum pernah melihat perempuan seperti yang ia lihat di keputren. Ratu Kencono pun tersenyum mendengar jawaban Diponegoro.

Hamengkubuwono III senang mendengar jawaban Diponegoro. “Benar anakmu. Walau aku belum melihat wanita yang dimaksud itu beserta ibunya, memang betul Si Thole, Yogyakarta adalah tempat kedua sifat, yang pembawaannya sopan santun dan pantas,” kata Hamengkubuwono III kepada istrinya, Ratu Kencono.

Pada hari Senin, Diponegoro dipanggil Hamengkubuwono III. Diponegoro diterima di puri, bersama kerabat kerajaan, para ulama dan adipati.

Diponegoro dinikahkan dengan Maduretno. “Sudah beruntung anakku, diberi oleh Allah jodoh pilihan Tanah Jawa. Tugas Ratu Maduretno melahirkan, andaikan ayah dan ibunya sempat menyaksikan,” kata Hamengkubuwono III di dalam hati.

“Kanjeng Sultan sudah duduk dibangsal kencana, dihadap semua abdi. Sang retno segera dipanggil keluar dari Prabayaksa, Kanjeng Ratu Bendoro yang mengiringi. Bersama semua ratu dan juga para putrid, sang retno diiirng sang kusuma bagai wanita turun dari surga yang diisiringi semua bidadarai. Dewi Uma yang memimpin,” tulis Diponegoro mengenai prosesi pernikahannya di dalam babad yang ia tulis.

Sang pengantin duduk di bawah tenda pelaminan. “Kanjeng Sultan bagai Sang Hyang Jagadnata yang pantas duduk di kahyangan Jonggring Saloka,” lanjut Diponegoro.

Oohya! Baca juga ya: Film Siksa Neraka Ditolak Malaysia, Film Tiga Dara Dulu Sukses di Malaysia

Hamengkubuwono III lalu memerintah agar Diponegoro segera dihadirkan di pelaminan. Diponegoro datang diiring oleh semua abdi dalem.

Setelah tiba di hadapan Hamengkubuwono III, Diponegoro diminta duduk bersama pengantin perempuan. “Sudah berdampingan bagaikan Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Banyak wanita yang teroana menyaksikan keduanya,” tulis Diponegoro.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Dipanegara karya Diponegoro, penerjemah Gunawan dkk (2016)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam