Film Siksa Neraka Ditolak Malaysia, Film Tiga Dara Dulu Sukses di Malaysia
Film Indonesia, Siksa Neraka, dilarang tayang di Malaysia. Sebelumnya, pernah ada The Raid 2 dan Rumah Dara yang dilarang tayang di Malaysia.
Pada 1957, film Indonesia garapan sutradara Usmar Ismail, Tiga Dara, sukses di Malaysia. Biasanya, Malaysia selalu meminta tiga film dari Indonesia untuk bisa mengirimkan satu film dari Malaysia, tetapi untuk Tiga Dara ada pengecualian.
Pada 1950-an- 1960-an, agar film Indonesia bisa tayang di Malaysia, ada syarat ekspor-impor film yang harus dipenuhi. Indonesia harus mengirimkan tiga judul film untuk ditayangkan di Malaysia, tetapi Malaysia cukup mengirim satu film ke Indonesia.
Oohya! Baca juga ya:
Saat itu Malaysia (saat itu masih Malaya) mengklaim film-film mereka lebih bagus dari film Indonesia. Lalu mereka berani memperlakukan berbeda terhadap Tiga Dara, menukar dengan film Mega Mendung.
“Pengelola bioskop Malaysia melihat animo besar masyarakat Malaysia, sehingga berani menukar Tiga Dara hanya dengan satu film Malaysia,” kata Manajer Penjualan Perfini Naziruddin Naib, seperti dikutip Java Bode.
Pelarangan Siksa Neraka, Rumah Dara, dan The Raid 2, tentu bukan karena kualitas filmnya. Melainkan karena adegan kekerasan yang ada di dalamnya, yaitu memvisualkan siksa neraka.
The Raid 2 (2014) adalah film laga yang penuh aksi kekerasan. Rumah Dara (2009) juga mengandung kekerasan. Ini film horor yang menampilkan kisah para pemuda yang terjebak di rumah seorang jagal.
Oohya! Baca juga ya:
Tahun-Tahun Kekalahan Diponegoro dari Belanda
Skenario Tiga Dara ditulis oleh Usmar Ismail dan Alwi Dahan. Kisahnya terinspirasi dari kisah film Amerika Serikat Three Smart Girls (1936). Peminat Tiga Dara sangat luar biasa begitu film ini tayang pada 1957.
Untuk bisa menonton pada pukul 15.30, 18.00, dan 20.00 WIB, tiket sudah dijual pada pukul 09.00-11.00 WIB. Selalu habis terjual.
Banyak yang tak kebagian tiket. Ada yang rela keluar kocek lebih banyak karena membeli tiket dari calo.
Tiga Dara sukses di pasar. Meraup Rp 10 juta, Perfini untung Rp 3 juta.
Tapi hal itu tak membuat Usmar Ismail bangga. Ia malah malu dengan film itu karena dibikin tak sejalan dengan misi Perfini yang ia pimpin.
Tiga Dara merupakan film komedi musikal, masih hitam putih. Mulai diproduksi pada 1956 untuk membangkitkan Perfini. Unsur komersial pada Tiga Dara bertentangan dengan visi Perfini sejak berdiri.
Oohya! Baca juga ya:
Film yang dibintangi Chitra Dewi, Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak ini tayang perdana di Capitol, bioskop elite di Jakarta, pada awal Agustus 1957. Kemudian diputar juga di bioskop lain di Jakarta: Varia, Texas, Rivoli, Luxor, lalu berpindah ke kota-kota lain.
Di acara Konferensi Economic Social Survey of Asia and Far East (ECAFE) di Yogyakarta pada 30 Oktober 1957, Tiga Dara juga diputar. Di Istana, Sukarno juga menonton film ini.
Di tahun itu, masyarakat juga lagi senang kontes mirip bintang film-film Amerika. Maka, untuk Tiga Dara, Perfini juga mengadakan lomba mirip bintangnya.
Pemenangnya diumumkan di malam terakhir penayangan Tiga Dara di bioksop Capitol, 6 September 1957. Suzanna termasuk peserta di kontes yang dimenangkan oleh trio Lola, Lyla, Leila itu.
Di Bandung, Kontes Tiga Dara diadakan pada Oktober 1957. Sebelumnya, pada Februari 1957 ada, kontes mirip bintang Hollywood di Hotel Savoy Homann yang diadakan oleh Willy Brandon, berpaspor Inggris.
Oohya! Baca juga ya:
Sonya van der Wijk dinobatkan mirip bintang Hollywood, Susan Hayward. Namun, karena acara dimeriahkan dengan musik rock n roll dan dansa, gelombang protes pun muncul setelah acara, termasuk dari organisasi kiri seperti Pemuda Rakyat, CGMI, dan Lekra.
Demo besar terjadi pada Ahad, 17 Februari 1957, di halaman Balaikota Bandung. Ada massa dari 40 organisasi menyampaikan tuntutan agar Willy Brandon diusir dari Indonesia sebagai orang asing yang tak diinginkan.
Tuntutan lainnya agar ada teguran kepada manajemen Hotel Homann. Dari halaman Balaikota, 40 penanda tangan resolusi --wakil dari masing-masing organinasi—pergi menghadap Gubernur Jawa Barat Sanusi di rumah dinas.
Maka, Kontes Tiga Dara di Hotel Homman yang diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) bekerja sama dengan Perfini dilakukan dengan hiburan gamelan dan band wanita. Dengan hiburan musik tradisional klasik dan musik modern ini, panitia seperti hendak menyatakan acara bisa berlangsung meriah tanpa perlu menghadirkan musik dan tari yang berlawanan dengan adat ketimuran.
Ini semacam jawaban dari kontes sebelumnya di Februari 1957 yang menampilkan dansa dan musik rock n roll yang dinilai publik tak sesuai dengan adat timur.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Prengerbode, 18 Februari 1957
- Java Bode, 6 September 1957
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]