Lincak

Dua Penguasa Pesisir Utara di Masa Sultan Agung Mataram Ternyata Bukan Orang Jawa, dari Mana Mereka?

Lukisan Pelabuhan Jepara pada abad ke-17, menggambarkan padatnya kapal yang berlabuh. Penguasa Jepara dan juga penguasa Tegal di masa Sultan Agung ternyata bukan orang Jawa.

Untuk menyerbu Kompeni di Batavia, Sultan Agung harus mengandalkan penguasa-penguasa pesisir. Tak hanya mengerahkan orang-orangnya, para penguasa pesisir juga harus menyediakan kapal.

Kapal-kapal itu, selain untuk mengangkut mereka ke Batavia, juga untuk mengangkut padi untuk mengisi gudang makanan di Tegal pada 1629. Kapal-kapal dagang yang berlabuh di Jepara untuk berdagang dengan Mataram biasanya mampir di Tegal.

Tegal dan Jepara menjadi wilayah penting bagi Mataram. Ternyata, penguasa Tegal dan Jepara bukan orang Jawa. 

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Selama Sultan Agung berkuasa sejak 1613 hingga 1646, ada empat patih yang pernah membantunya. Di negeri-negeri taklukan, ada penguasa-penguasa yang tunduk pada perintah Mataram.

Oohya! Baca juga ya: Bawa Meriam Melawan Kompeni, Pasukan Sultan Agung Mataram Tinggal di Kemah-Kemah yang Dibuat dari Daun Pisang

Selain memiliki wilayah taklukan di pedalaman, Sultan Agung juga memiliki negeri taklukan di pesisir. Wilayah pesisir yang menjadi negeri taklukan, antara lain ada Cirebon, Tegal, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Jepara, Pati, Lasem, Tuban, Giri (Gresik), Surabaya, Madura.

Para patih juga terlibat penaklukan-penaklukan karena biasanya mereka juga menjadi panglima perang. Berturut-turut yang pernah menjadi patih adalah Kiai Surontani (1613-1614), gugur dalam pertempuran di Andaka di Jawa Timur.

Kiai Surontani digantiken oleh Tumenggung Singoranu (1615-1629). Ia dipecat karena gagal merebut Batavia, diberi jabatan lain di istana.

Tumenggung Danupoyo (1629-1637) mengganatian posisi Tumenggung Singoranu. Karena ia terlibat konflik pemberontakan terhadap Putra Mahkota, ia kemudian disingkirkan.

Penggantinya adalah Ngabei Dirontoko (1637-1642). Penggantinya adalah Tumenggug Wiroguno (1644-1648). Wiroguno dibunuh pada masa pemerintahan Amangkurat I, raja yang semasa masih menjadi putra mahkota pada 1937 menculik istri Wiroguno.

Ada pula posisi penasihat. Panembahan Puruboyo merupakan salah satu penasihat yang juga menjadi panglima perang. Panembahan Juminah juga merupakan penasihat dan penglima perang. Ada empat penasihat yang membawahkan 500 bangsawan.

Oohya! Baca juga ya: Berkaca pada Hilirisasi yang Dibicarakan Selepas Debat Cawapres

“Selain para pangeran turunan raja dan penasihat istana, masih ada satu golongan lagi, yaitu pegawai setempat. Di antara mereka, yang patut dicatat adalah yang datang dari pesisir, misalnya para penguasa Tegal, Kendal, dan Jepara,” tulis De Graaf.

Penguasa-penguasa wilayah ini (negeri taklukan) memiliki tugas mengatur wilayah yang diberikan kepada mereka. Mereka juga wajib memimpin pasukan mereka di medan perang dan mengadakan peradilan di wilayah mereka.

“Pada Gerebek Maulud mereka harus menghadap ke istana, tetapi tidak dengan tangan hampa,” tulis De Graaf.

Mereka memiliki kekuasaan yang luas. Jika Sultan Agung melemah pengawasannya, mereka bisa berbuat sewenang-wenang.

Kesewenang-wenangan itu bisa berupa menarik pajak secara paksa ketika mereka tidak memiliki persembahan yang harus dibawa pada pertemuan Gerebek Maulud. Tumenggung Kendal, Baureksa, misalnya, pernah merampas 14 kapal.

“Yang menarik, dua bupati daerah pesisir itu ternyata bukan orang Jawa. Tumenggung Tegal dan saudaranya Kiai Rangga ternyata berasal dari Turki. Semula mereka tinggal di Banten, tetapi diusir oleh raja di sana, barang dan budak-budak mereka di sita,” tulis De Graaf.

Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala

Bagaimana dengan penguasa Jepara? Menurut De Graaf, penguasa Jepara yang bernama Koja Hulubalang berasal dari Gujarat atau Persia.

“Karena jasa-jasanya semenjak 1618, pada 1620 ia memperoleh, selain sebuah payung uga gelar Kiai Demang Laksamana, karena berjasa dalam peperangan. Gelar laksamana ini mungkin berasal dari kerajaan Jepara lama,” tulis De Graaf.

Koja Hulubalang memakai surban. “Yang dilepasnya apabila ingin menghormat, sesuatu yang tidak pernah dilakuan orang Jawa,” tulis De Graaf.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Siapa Budak yang Jadi Pahlawan Nasional di Indonesia?

Image

Banjarmasin Dua Abad Tolak Monopoli Kompeni, Dihapus Belanda pada 1860

Image

Mataram Tutup Pelabuhan, Banjarmasin Punya Benteng Terapung, Apa Gunanya?