Suami Sahabat Diponegoro, Mengapa Dihukum Cekik oleh Hamengkubuwono II?
Raden Tumenggung Yudokusumo merupakan sekutu ayah Diponegoro. Ketika ayah Diponegoro sebagai putra mahkota berkonflik dengan Sultan Hamengkubuwono II, Yudokusumo dihukum mati oleh Hamengkubuwono II.
Yudokusumo dan istrinya, Raden Ayu Yudokusumo sangat dekat dengan Diponegoro. Raden Ayu Yudokusumo sering mengunjungi Diponegoro di Tegalrejo.
Mereka sering bermain catur sambil membahas sastra Islam dan Jawa. Raden Ayu Yudokusumo menguasai sastra Islam dan Jawa, mahir pula menulis huruf pegon, yaitu huruf Arab gundul.
Oohya! Baca juga ya:
KDRT, Pembangkangan, dan Perceraian di Jawa pada Abad ke-19
Di Tegalrejo, Diponegoro tinggal dengan nenek buyutnya, istri Hamengkubuwono I. Setelah Hamengkubuwono I meninggal nenek buyut Diponegoro itu memilih keluar dari keraton.
Ia tidak nyaman tinggal di keraron bersama anak pertamanya, Hamengkuwono II, yang bergaya hidup mewah. Hamengkubuwono II juga dinilai abai atas ajaran Islam.
Di Tegalrejo, nenek buyut Diponegoro itu mendidik Diponegoro dengan pendidikan Islam ala pesantren. Itu sebabnya dia sering berdikusi dengan Raden Ayu Yudokusumo.
Inggris menaklukkan keraton pada 1812. Ayah Diponegoro diangkat oleh Inggris sebagai Sultan Hamengkubuwono III.
Oohya! Baca juga ya:
Sebelumnya, pada 1810 ia sudah dijadikan sultan oleh Belanda. Ketika Inggris merebut Batavia pada 1811, Hamengkubuwono II mengambil alih kekuasaan lagi.
Tumenggung Yudokusumo dihukum sebelum Inggris menyerbu Yogyakarta. Ia dicekik hingga meninggal dalam perjalanan dibuang ke Pacitan pada Januari 1812.
Hamengkubuwono II sebenarnya marah ke ayah Diponegoro. Namun karena Yudokusumo adalah sekutu ayah Diponegoro, ia menjadi sasaran Hamengkuwono II untuk menumpahkan kemarahannya itu.
Kehilangan Tumenggung Yudokusumo, Diponegoro masih memiliki sahabat baik, janda Yudokusumo. Maka, Diponegoro masih bisa terus memuaskan rasa haus ilmu sastra Islam dan Jawa bersama Raden Ayu Yudokusumo.
Kehadiran sosok nenek buyut Diponegoro dan Raden Ayu Yudokusumo menjadi bukti bahwa perempuan keraton menjadi penegak nilai-nilai Islam dan Jawa. Diponegoro beruntung memiliki keduanya.
Mereka menjadi sumber kekuatan Diponegoro kendati mereka meninggal sebelum Diponegoro memulai Perang Jawa. Nenek buyut meninggal pada 1803, Raden Ayu Yudokusumo meninggal pada 1822.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Ingin Naik Haji, Mengapa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Malah Mengirimnya ke Manado?
Namun, Diponegoro sudah mengetahui ramalan kakek buyutnya, Hamengkubuwono I. Saat baru lahir, Diponegoro diserahkan kepada Hamengkubuwono I.
Hamengkubuwono I meramalkan Diponegoro kelak akan menjadi sosok yang akan membuat Belanda mengalami kerusakan yang besar. Hamengkubuwono I menyerahkan Diponegoro kepada istrinya untuk mengasuhnya.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII - XIX karya Peter Carey (2024, edisi revisi)
- "Wanita Jawa Sebagai Penjaga Tradisi, Pembimbing Anak, Penjunjung Agama, dan Penggemar Sastra" karya Fandy Aprianto Rohman dkk, Jurnal Jantra, Desember 2020
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]