Pitan

Diponegoro Sebagai Pujangga, Kata Muh Yamin Babad Diponegoro Merupakan Karangan Jiwa yang Bernyanyi

Selama di pembuangan, Diponegoro menulis babad setebal 700 halaman. Muh Yamin menyebut Diponegoro sebagai pujangga, karena menjadi pujangga tak harus menulis buku satu lemari.

Pada 1950, Muh Yamin menerbitkan buku Dipanegara. Dalam salah satu subjudul di dalam buku itu, ia menulis: Diponegoro sebagai pujangga.

Tentu saja Yamin memuji kepiawaian Diponegoro dalam menulis syair dalam bahasa Jawa. Mengapa Yamin menyebutnya sebagai karangan jiwa yang bernyanyi, padahal Diponegoro pernah mengaku tidak bisa menulis?

Muh Yamin menyinggung pengakuan Diponegoro itu yang muncul dalam dua kesempatan. Pertama ketika ia diangkat menjadi wali sultan pada 1822, kedua pada saat berangkat ke Manado.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: BSN Bicara Soal UMKM dan Carbon Capture Storage yang Disinggung Gibran di Debat Cawapres

“Banyaklah orang bertanya kepada dia,” tulis Yamin. Yamin lantas mengutipnya:

“Tahukah Tuan menulis?” Jawabnya: “Menulis tanda tangan saja tidak pandai; kalau perlu sebagai wali pakailah saja cap.”

Hal itu, menurut Yamin menunjukkan bahwa Diponegoro tidak mau mengakui kepandaiannya menulis. Pernyataan itu berbeda dengan pernyataan Diponegoro kepada Knoerle, ajudan Gubernur jenderal Hindia-Belanda, di atas Kapal Pollux menuju Manado pada 1830:

“Tahukah Tuan menulis?”

“Menulis sedikit tahu, tetapi dalam bahasa Jawa, dan dengan tulisan Jawa yang tidak sempurna,” jawab Diponegoro.

Betapa Diponegoro memiliki kemampuan mengungkapkan sesuatu dengan bagus. Lir mas kentir toya. “Ibarat emas hanyut terbawa air,” kata Peter Carey menerjemahkan kalimat yang dipakai Diponegiri untuk menggambarkan secara tepat kondisi jiwanya.

Diponegoro mencoba mengungkapkan perasaannya ketika ditipu Belanda pada hari kedua Lebaran. Bertemu untuk silaturahmi, tetapian diajak berunding.

Oohya! Baca juga ya: Anies Baswedan Manfaatkan Tiktok untuk Kerja Kampanye, Alat Kerja Seperti Apa yang Diperkenalkan kepada Generasi X di Bangku Sekolah?

Ketika perundingan gagal, Diponegoro tidak diperbolehkan pulang. Pengikutnya yang tinggal di pesanggrahan dilucuti. Ia lalu dibawa ke Batavia untuk kemudian dibuang ke Sulawesi.

Padahal ketika ia menyanggupi datang di Magelang, ia diberi janji boleh pulang. Lalu Diponegoro sudah berangan-angan akan melanjutkan peperangan jika perundingan itu gagal.

Maka, ia menyebut dirinya seperti emas yang hanyut. Hilang harga dirinya, dipermalukan oleh tindakan licik Belanda.

“Tidak perlulah orang menulis buku sampai sepuluh lemari, supaya menjadi pujangga besar. Satu buku yang selesai isi dan susunannya, sudahlah cukup untuk membuktikan satu jiwa manusia yang berjasa untuk kesusasteraan,” tulis Yamin.

Yamin menyebut tembang-tembang dalam Babad Diponegoro sebagai “kalimat-kalimat karangan jiwa yang bernyanyi”. Diponegoro menulsi babad setelah 700 halaman.

“Babad ini pada penghabisannya, maka kalimatnya tidak sempurna, melainkan dihabisi begitu saja. Rupanya pada penghabisan babad itu beliau tidak kuat lagi atau hendak menurut aturan seni, yaitu bernyanyi menurut langgam yang tak sudah,” kata Yamin memberikan komentar.

Oohya! Baca juga ya: Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres-Cawapres, Ini Kata Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Ia lalu menunjuk Bethoven yang menjadi masyhur karena musiknya yang belum sempurna. “Dan syair Diponegoro juga begitu adanya,” ucap Yamin.

Baik Yamin maupun Peter Carey mengutip tembang pertama yang menjadi pembuka Babad Diponegoro. Syair yang dituli sebagai pembuka itu adalah tembang Mijil:

Sun amedar surasaning ati
Atembang pamiyos
Pan kinaryo anglipur brangtane
Aneng kitha Menado duk kardi
Tan ana kaseksi

(Hamba curahkan perasaan hati yang suci
Mengarang syair
Untuk menghibur duka nestapa
Menyusun karangan di kota Manado)

Oohya! Baca juga ya: Presiden Sukarno dan Selasa Gila di Sarinah Setelah Uang Rp 1.000 Diubah Jadi Rp 1

Amen Budiman menerjemahkannya dlaambentuk prosa:

Aku ingin menyatakan perasaan hatiku dengan menyajikan tembang, untuk menghiur kesusahan hatiku, di kota Manado waktu membuatnya, di mana tak ada yang kulihat hanya mengharapkan kasih saying Tuhan Yang Maha Agung.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Babad Dipanegara diterjemahkan oleh Amen Budiman (1980)
- Dipanegara karya Muh Yamin (1952, cetakan ketiga)
- Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam