Pitan

Mengapa Diponegoro Bisa Tidur Pulas Seharian Terlewat Waktu Shalat, Meski Gunung Merapi Meletus Dini Hari tak Lama Setelah Penobatan Sultan Balita?

Gunung Merapi beraktivitas pada Desember 2023. Pada Desember 1822, Gunung Merapi meletus tak lama setelah penobatan sultan balita, Hamengkubuwono V. Saat itu Diponegoro tidur pulas seharian.

Pangeran Diponegoro tidur seharian hingga malam. Berarti beberapa waktu shalat terlewatkan ya, karena ketika Gunung Merapi meletus dini hari pun ia belum juga terbangun.

Diponegoro baru terbangun saat terjadi letusan lagi antara pukul 04.30 dan 05.00. “Ia terbangun karena jeritan para punakawan dan perempuan pelayannya,” tulis Peter Carey.

Rupanya Pangeran Diponegoro sangat capek, sehingga ia tidur pulas sejak Sabtu, 28 Desember 1822, siang. Ahad Subuh itu, 29 Desember 1822, Diponegoro lantas keluar rumah bersama sang istri, Raden Ayu Maduretno.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Perang Diponegoro Belum Sebulan Dimulai, untuk Apa Jenderal De Kock dan Mangkunegoro II Bertemu Lalu Mengirim Surat kepada Diponegoro?

Diponegoro melihat gunung yang sedang menyala. Ia juga merasakan bumi bergoyang. Begini catatannya dalam Babad Diponegoro yang dikutip Peter Carey:

Ardi Mrapi murub ika
anglir sundhul ing wiyati
kadya kebekan Ngayogya
kang akasa kadi geni
kang swara gigirisi
gemleger lawan gumludhug
brama pating pancurat
kelangkung geger pan sami
ting kudhangdhang ngupados pangungsen samya

Artinya:

Gunung Merapi terbakar
pucuknya bagai terlontar ke langit.
Yogyakarta serasa tertutup olehnya.
Langit berubah menjadi api
(dan) gemuruhnya menggentarkan;
ia menggelegar dan mengguntur,
apinya memancar ke segala arah.
Dalam kegemparan besar, semua,
di mana-mana orang berusaha sekuatnya cari selamat.

“Pada pagi hari 29 Desember 1822 aliran lahar membara bisa terlihat meluap menuruni gunung di sisi yang termasuk daerah Kedu denan kepulan asap tebal yang dimuntahkan tinggi-tinggi beserta hujan abu dan pasir yang mencapai kawasan luas sejauh Gunung Sumbing ke sebelah barat,” tulis Peter Carey.

Diponegoro menganggap letusan ini merupakan kemurkaan Tuhan Yang Maha Esa atas pengangkatan balita menjadi sultan Yogyakarta. Belanda menobatkan balita yang berusia dua tahun menjadi Sultan Hamengkubuwono V pada Kamis, 19 Desember 1822.

Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 20 tahun. Dugaan kuatnya karena diracun.

Oohya! Baca juga ya: Untung Suropati Membakar Rumah-Rumah di Keraton Amangkurat, Dendam kepada Raja Mataram atau Tipu Muslihat untuk Kompeni?

Putra mahkota masih berusia duau tahun, tetapi balita inilah yang kemudian dilantik menjadi sultan, dan Diponegoro diangkat sebagai wali sultan bersama Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro.

Diponegoro merasa terpukul, sehingga ia tak kuasa membubuhkan tanda tangan pada surat pengangkatan yang ia terima. Ia mengakunya tidka bisa membaca dan menulis sehingga tidak menandatangani surat itu.

Meski Dipoengoro bersyukur atas bencana ini karena menunjukkan kemurkaan Tuhan atas penobatan balita menjadi sultan, tak urung Diponegoro bersedih juga melihat penderitan rakyat yang menjadi korban bencana ini.

Aktivitas Gunung Merapi baru berhenti pada 3 Januari 1823. Hujan lebat terus-menerus mengguyur selama dua minggu setelah letusan.

Lumpur setinggi tiga meter telah menutup jalan. Air sungai yang bersumber dari gunung menjadi panas.

“Mayat-mayat hanyut di Kali Progo dan dihanyutkan jauh hingga ke desa penghasil garam, Sirisik, dekat muara sungai yang mengalir ke Samudra Hindia,” tulis Peter Carey.

Oohya! Baca juga ya: Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres-Cawapres, Ini Kata Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Akibat bencana ini, harga beras naik mencapai 6,1 gulden per pikul. Harga beras baru normal lagi menjadi empat gulden hingga 4,5 gulden per pikul pada Juni 1823.

Diponegoro tidak bisa lagi tidur nyenyak memikirkan nasib rakyat. Tinggal di Tegalrejo, di luar keraton, ia dekat dengan kehidupan rakyat kecil.

Namun, bagaimana ia bisa tidur nenyak seharian sebelum Gunung Merapi itu meletus? Rupanya, setelah penobatan sultan, ada aktivitas Diponegoro yang menguras tenaga.

Pada Jumat, 27 Desember 1823, Diponegoro harus mengunjungi rumah adiknya, Pangeran Suryobronto. Adiknya sedang punya hajat, mengkhitan anaknya.

Ia bertugas mengawasi pelaksanaan upacara khitanan itu dan kemudian bermalam. Bukan untuk tidur, melainkan untuk berdiskusi dengan Raden Ayu Danukusumo yang mendalami kesusastraan Islam-Jawa.

Oohya! Baca juga ya: Anies Baswedan Manfaatkan Tiktok untuk Kerja Kampanye, Alat Kerja Seperti Apa yang Diperkenalkan kepada Generasi X di Bangku Sekolah?

Diponegoro cocok dengan Raden Ayu Danukusumo, sehingga ia sering berdiskusi dengannya. Biasanya smabil bermain catur.

Malam itu pun juga berdiskusi sambil bermain catur. “Esok paginya, Pangeran itu sudah kembali ke Tegalrejo, tapi ia begitu capek sehingga tertidur seharian hingga malamnya,” tulis Peter Carey.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Satu Pesantren di Grobogan Jadi Kristen, Cucu Sang Kiai Kelak Jadi Pendeta

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam