Perang Diponegoro Belum Sebulan Dimulai, untuk Apa Jenderal De Kock dan Mangkunegoro II Bertemu Lalu Mengirim Surat kepada Diponegoro?
Belum juga sebulan memulai Perang Jawa, Diponegoro mendapat surat dari Jenderal De Kock dan Susuhunan Mangkunegoro II. De Kock mengirim surat pada 7 Agustus 1825 dan 14 Agustus 1825, sedangkan Mangkunegoro mengirimkan surat pada 14 Agustus 1825.
Sebelum mengirim surat, De Kock berkunjung ke Mangkunegaran di Surakarta pada 31 Juli 1825. Mangkunegoro II memberikan jaminan tidak akan mendukung Dipoengoro berperang melawan Belanda.
De Kock pun segera menyampaikan kabar gembira ini ke Batavia. Batavia merasa lega karena Mangkunegaran tetap menjadi sahabat Belanda dan akan berada di sisi Belanda memerangi Diponegoro.
Oohya! Baca juga ya: Dipanggil Belanda ke Magelang pada Bulan Puasa, Mengapa Diponegoro Disembelihkan Lima Ekor Kerbau Setiap Hari dan Terjadi Gerhana Rembulan Penuh?
Namun hingga 9 Agustus 1825, De Kock belum melihat aksi nyata dari Mangkunegaran dalam membantu Belanda. Maka, De Kock pun memanas-manasi Mangkunegoro II dengan mengungkit permusuhan Surakarta dan Yogyakarta.
Permusuhan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said kemudian memunculkan dua keraton. Mangkubumi menjadi Sultan Hamengkubuwono I memimpin Yogyakarta, Mas Said meniadi KGPH mangkunegoro I memimpin Surakarta.
Di sisi lain, De Kock juga mencoba membuka komunikasi dengan Diponegoro. Dalam dua surat yang dikirim 7 Agustus dan 14 Agustus itu, De Kock juga menyatakan bahwa dirinya dalaha sahabat orang Jawa.
Karena itu, ia berharap Diponegoro menghentikan peperangan dan ia berjanji akan bertindak adil terhadap Diponegoro dan Mangkubumi, paman Diponegoro, yang merupakan wali sultan. Sedangkan Mangkunegoro II, di dalam suratnya menumpahkan kekesalannya karena banyak rakyat Surakarta yang ikut berjuang bersama Diponegoro.
“Atas rasa saying yang Sri Paduka nyatakan di dalam surat Sri Paduka kami, kami menguncapkan diperbanyak terima kasih. Paduka, ialah karena Residen (Smissaert), Sekretaris (Chevalier), dan Danurejo menyakiti hati kami dan karena Sri Paduka membantah mereka denan pasukan,” kata Diponegoro membalas surat Mangkunegoro II pada 23 Agustus 1825.
Diponegoro juga membalas surat De Kock, dalam bahasa Jawa. Mangkubumi membantu Diponegoro membalas surat itu.
“Surat Tuan telah saya terima dan mengerti apa maksudnya. Surat Tuan tertanggal 7 Agustus 1825 yang lalu tidak sampai ke tangan saya,” jawab Diponegoro menyinggung surat pertama De Kock.
Oohya! Baca juga ya: Selama Perang Diponegoro, Para Lurah akan Dijatuhi Hukuman Mati Jika Membantu Belanda
Dalam surat kedua tertanggal 14 Agustus, De Kock juga bertanya soal kepergian Diponegoro dari keraton, padahal ia meerupakan wali sultan. Diponegoro pun memberikan penjelasan melalui Mangkubumi.
“Karena saya mendapat perlakuan yang buruk dari orang-orang yang dikuasakan oleh Tuan, yakni Residen, Sekretaris Yogyakarta, dan Danurejo,” kata Diponegoro.
Diponegoro pun menegaskan pendiriannya untuk membela rakyat. Yaitu rakyat yang tertindas akibat perbuatan Residen Yogyakarta, Sekretaris Yogyakarta, dan Patih Danurejo.
“Peraturan-peratutan dan tindakan-tindakan pemerintah menyebabkan rakyat menderita kesengsaraan. Mereka meninggalkan rumah dan kampung sehingga tanam-tanaman rusak, baik di kota maupun di dusun-dusun,” lanjut Diponegoro.
Mangkubumi di dalam surat itu juga memahami posisinya sebagai wali sultan. Oleh karena itu ia memberikan penjelasan mengenai hal itu juga.
“Saya dan Aryo Diponegoro menjadi wali cucunda Sultan (Hamengkubuwono V), akan tetapi wakil Tuan tidak pernah meminta nasihat kami dalam urusan pemerintahan, hal mana bertentangan dengan adat-pusaka,” kata Mangkubumi.
Oohya! Baca juga ya: Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres-Cawapres, Ini Kata Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
Surat Mangkubumi atas nama Diponegoro untuk Jenderal De Kock yang ditulis pada 23 Agustus 1825 ini cukup panjang. Ia menjelaskan detail kasus perampasan tanah di Tegalrejo untuk pelebaran jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro.
Ia juga menceritakan pengepungan rumah Diponegoro di Tegalrejo oleh pasukan Belanda dan pasukan Danurejo. Tentu juga diceritakan pula upaya-upaya penyelesaian kasus penyerobotan tanah itu hingga akhirnya Diponegoro dikejar-kejar.
“Pada hari Minggu kami diserang oleh orang-orang Belanda, tentara, dan lain-lainnya. Kami membela diri sedapat usaha kami dan dengan demikian jatuhlah beberapa korban,” kata Mangkubumi.
Maka, pada 20 Juli 1825, Diponegoro bersama rakyat meninggalkan Tegalrejo, mengungsi ke Selarong. Dari Selarong inilah seruan perang dikumandangkan.
Oohya! Baca juga ya: Anies Baswedan Manfaatkan Tiktok untuk Kerja Kampanye, Alat Kerja Seperti Apa yang Diperkenalkan kepada Generasi X di Bangku Sekolah?
“Saudara-saudara dan kawan-kawan di Tanah Mataram! Jikalau saudara-saudara mencintai Pangeran Diponegoro, datanglah dan berdirilah di belakang beliau. Beliau dan pamanda beliau (Pangeran Mangkubumi) kini bersama-sama ada di Selarong. Siapa-siapa yang mencintai beliau pada datanglah dengan segera dan bersiap-siaplah untuk bertempur.”
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Pahlawan Dipanegara Berdjuang karya Sagimun MD (1965)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]