Selama Perang Diponegoro, Para Lurah akan Dijatuhi Hukuman Mati Jika Membantu Belanda
Bagaimana pasukan rakyat Ledok yang dipimpin Mas Lurah menerapkan taktik menyerang dadakan lalu menghilang? Rupanya, taktik inilah yang selama Perang Diponegoro.
Maka, Mas Lurah pun memberikan arahan kepada pasukannya untuk melakukan taktik serupa. “Yen wonten mengsah medal, yen kuwawi kakersaaken narungi, yen boten kuwawi kakersaaken nilar lumajar,” ujar Diponegoro.
Selama 1827-1828, persuasi dan intimidasi yang dilakukan Belanda tak juga meluluhkan perlawanan rakyat Ledok dan wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Mengapa mereka begitu patuh kepada Diponegoro? Apa karena sanksi hukuman mati jika membantu Belanda?
Oohya! Baca juga ya:
Ada Arahan dari Pak Lurah, Eh, Mas Lurah, dalam Perang Diponegoro
Pada September 1827, ketika pasukan Diponegoro menyerbu Belanda di Probolinggo,penguasa Probolinggo Tumenggung Prawirodimejo melarikan diri. Pemimpin penyerbuan, Tumenggung Wirodikoro, pun menetapkannya sebagai buron seharga 10 ribu gulden dan menetapkan hukuman mati untuknya.
Apa arti pesan dari Diponegoro untuk taktik perang yang disampaikan kepada pasukan dan rakyatnya dalam bahasa Jawa di atas? “Jika musuh datang, jika mampu harus dihadapi, jika tidak mampu menghadapi lebih baik lari.” Seorang mata-mata bernama Poncotriyono menceritakan taktik ini kepada Belanda.
Ledok, Bagelen, dan Banyumas, merupakan daerah operasi militer Belanda yang ditangani oleh Letkol Cleerens. Jabatan utama dia adalah Komandan Daerah Komando Militer Kedu.
Di Ledok, Bagelen, dan Banyumas ia sediakan kekuatan tiga kolone mobil. Sedangkan di Magelang dan sekitarnya ia tempatkan battalion ekspedisi di Pisangan dan satu kolone mobil di bawah pimpinan Mayor Du Perron.
“Meningkatnya aktivitas serangan pasukan Diponegoro di wilayah Kedu barat, membuat Jenderal Van Geen memerintahkan Kolonel Cleerens untuk melepaskan tanggung jawab komandonya atas wilayah Kedu. Ia mendapat tugasbaru untuk mengamankan Menoreh (Kedu barat), Bagelen, Ledok, dan Banyumas,” tulis Saleh As’ad Djamhari.
Oohya! Baca juga ya:
Oleh Belanda, Ledok dianggap wilayah paling aman sebagai wilayah perbatasan Karesidenan Pekalongan dan Karesidenan Kedu. Namun, ketika pada 11 Desember 1827 pasukan Diponegoro berkekuatan 1.000 orang menguasai Ledok, Cleerens terpukul.
Ledok dikuasai Diponegoro menjadi ancaman bagi daerah-daetah disekitarnya, seperti Karangkobar, Banyumas, dan Pekalongan. “Residen Pekalongan, Homberg, yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah tersebut bersama pasukannya bergabung dengan pasukan Kolone V (Du Perron) di Magelang,” tulis Saleh As’ad Djamhari.
Sejak 1810, wilayah Kedu telah menjadi wilayah Belanda. Hamengkubuwono III menyerahkan wilayah itu sebagai imbalan setelah ia diangkat menjadi sultan oleh Belanda. Kendati begitu, sebelum pecah Perang Jawa pada Juli 1825, rakyat di wilayah ini juga telah mempersiapkan diri melakukan pemberontakan.
Pasukan-pasukan kecil yang ada di wilayah Kedu ternyata melakukan aktivitas atas prakarsa sendiri akibat tidak bisa berhubungan dengan kelompok-kelompk lainnya. Kelompok-kelompok kecil ini semula adalah pasukan Diponegoro dari Pajang yang menusup ke wilayah Kedu.
“Mereka mulai menerapkan taktik gerilya. Perubahan taktik dari serbuan massal (superior numbers) menjadi taktik gerilya merupakan buah dari aksi, aktivitas, dan pengalaman perang mereka selama beberapa tahun,” tulis Saleh As’ad Djamhari.
Hingga januari 1827, kelompok-kelompok kecil pasukan Diponegoro yang sudah masuk Kedu itu mlakukan perlawanan di daerah pangkalan masing-masing. Maka, pada 1827 itu, wilayah dari Kaliabu (Menoreh) sampai Banyumas ditetapkan oleh Cleerens sebagai garis pertahanan.
Oohya! Baca juga ya:
Jendera Van Geen menyetujui keputusan Cleerens ini. Ledok berada di belakang garis pertahanan ini, sehingga dianggap sebagai wilayah yang aman.
Maka, ketika pada 11 Desember 1827 Ledok bisa dikuasai pasjkan Deponegoro, kejadian ini menjadi pukulan bagi Cleerens. Cleerens ingin mengausainya kembali, tetapi ia melihat betapa rakyat Ledok dan sekitarnya sama sekali tidak bersahabat dengan Belanda.
“Dalam laporannya kepada Jenderal De Kock, Cleerens mencampaikan bahwa tidak seorang pun di wilayah tersebut yang mau memberikan informasi tentang keadaan dan keberadaan Diponegoro sertapasukannya,” tulis Saleh As’ad Djamhari.
Diponegoro telah mengeluarkan ultimatum kepada para lurah, jika ada yang berani memberikan bantuan apa pun kepada Belanda sanksinya adalah hukuman mati. “Pasar-pasar sepi, tidak ada yang mau berjualan dan rakyat meninggalkan rumah-rumah mereka apabila pasukan Belanda datang,” tulis Saleh As’ad Djamhari.
Oohya! Baca juga ya:
Maka, Cleerens pun melakukan duau taktik. Persuasi dan intimidasi. Persuasinya: Belanda datang bukan untuk berperang, melainkan hanya mencari Diponegoro dan Kiai Mojo. Intimidasinya: Jika tidak mau memberikan informasi desa mereka akan dibakar.
Namun, Cleerens tidak mendapatkan hasil. Mereka tetap gigih tidak mau membantu Belanda.
“Salah satu sebabnya adalah sosok Diponegoro yang sangatdihormati. Rakyat Menoreh, Gowong, Ledok, dan Begelen mengakuinya sebagai Sultan,” tulis Salah As’ad Djamhari.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Strategi Menjinakkan Diponegoro karya Saleh As’ad Djamhari (2014)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]