Belanda Copot Hamengkubuwono V yang Berusia 6 Tahun Lalu Angkat Hamengkubuwono II yang Berusia 76 Tahun Jadi Sultan Lagi, Bagaimana Nasib Diponegoro?
Ketika Diponegoro memulai Perang Jawa pada Juli 1825, Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono V. Sultan ini naik tahta dalam usia dua tahun pada Desember 1822.
Ketika baru setahun Pangeran Diponegoro memulai Perang Jawa, Belanda menurunkan Hamengkubuwono V dari tahta. Belanda lalu mengangkat kembali Hamengkubuwono II sebagai sultan.
Apa pengaruhnya bagi perlawanan Diponegoro lewat Perang Jawa? Pada saat Hamengubuwono V naik tahta, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi wali sultan bersama Pangeran Mangkubumi.
Oohya! Baca juga ya: Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres-Cawapres, Ini Kata Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
Memang saat itu, Diponegoro sudah tersingkir dari keraton. Penyebabnya, pang duduk di singgasana dalam pisowanan acara gerebeg puasa pada Juni 1823 adalah Residen Yogyakarta JAH Smissaert.
Kendali pemerintahan juga banyak di tangan Residen dan Patih Danurejo bersama Ratu Ageng. Diponegoro dan Mangkubumi jarang diajak berembuk.
Maka, ketika mereka membuat pelebaran jalan di Tegalrejo tanpa memberi tahu Pangeran Diponegoro, dimulailah perlawanan itu. Jalan itu lewat tanah milik Diponegoro di Tegalrejo.
Rakyat pengikut Diponegoro pun mempertahankan tanah yang sudah dipatok oleh anak buah Patih Danurejo. Belanda pun menurunkan prajurituntuk mengepung Tegalrejo, yang membuat Diponegoro dan pengikutnya harus melarikan diri ke Selarong.
Dari Selarang inilah Perang Jawa dimulai. Dua pekan kemudian, tepatnya 7 Agustus 1825, Diponegoro lalu merebut Yogyakarta setelah bertempur selama tujuh hari. Sekitar 6.000 orang dikerahkan Diponegoro untuk merebut Yogyakarta.
Setelah setahun Perang Jawa berlangsung, Belanda membuat taktik dengan mengangkat kembali Hamengkubuwono II menjadi sultan pada Agustus 1826. Hamengkubuwono II pernah diturunkan dari tahta oleh Belanda pada 1810, lalu digantikan oleh Hamengkubuwono III, ayah Diponegoro.
Saat itu, Hamengkubuwono diturunkan tahta karena menentang Gubernur Jenderal Hindia-Belanda HW Daendels. Ia kemudian menjadi Sultan Sepuh.
Oohya! Baca juga ya: Diponegoro dan Pengikutnya Berhasil Selamatkan Diri pada Waktu Maghrib Saat Rumahnya Dibakar Belanda, Sempat Shalat Maghribkah Mereka?
Ketika Inggris merebut Batavia dari Belanda pada 1811, Hamengkubuwono II memanfaatkan situasi ini untuk kembali naik tahta. Ayah Diponegoro dikembalikan posisinya sebagai putra mahkota.
Namun, setelah Inggris berhasil merebut keraton pada 1812, Inggris mengangkat ayah Diponegoro menjadi sultan lagi. Pada 1814, Hamengkubuwono III meninggal, tetapi bukan Diponegoro yang naik tahta, melainkan adiknya, yang masih berusia 10 tahun naik tahta sebagai Sultan Hamengkubuwono IV.
Hamengkubuwono IV meninggal pada usia 20 tahun, meninggalkan putra mahkota yang baru berusia tiga tahun. Belanda menobatkannya sebagai Hamengkubuwono V, yang kemudian diturunkan lagi lalu diganti dengan Hamengkubuwono II yang pada 1826 sudah berusia 76 tahun.
“Dengan pengangkatan kembali yang ketiga kalinya, Sultan Sepuh yang sudah lanjut (sekitar 76 tahun usianya itu), Belanda mengharapkan agar Pahlawan Diponegoro atau setidak-tidaknya beberapa orang pejuang yang tadinya tergolong kaum kasepuhan, menghentikan perlawanannya dan datang menyatakan kesetiannya kepada sultan yang sudah tua itu,” tulis Sagimun MD.
Sagimun MD melihat taktik licik ini sengaja dilakukan oleh Belanda untuk melemahkan perlawanan dari Diponegoro dan pengikutnya. “Pengangkatan Sultan Hamengkubuwono II itu dapat menimbulkan hal-hal yang tidak enak dan tidak diingini di kalangan beberapa pembesar yang membantu dan menjadi sekutu Belanda,” tulis Sagimun MD.
Mereka menjadi tidak enak karena Hamengkubuwono bukanlah sekutu Belanda. Pada masa pemerintahan Daendels, Hamengkubuwono dan pengikutnya (kaum kasepuhan) dikenal sebagai golongan yang anti-Belanda.
Oohya! Baca juga ya: Anies Baswedan Manfaatkan Tiktok untuk Kerja Kampanye, Alat Kerja Seperti Apa yang Diperkenalkan kepada Generasi X di Bangku Sekolah?
Mereka kemudian mendukung Diponegoro yang juga anti-Belanda. Mereka juga menjadi tidak enak karena harus patuh kepada Hamengkubuwono II, karena tentunya setelah diangkat menjadi sultan kembali, Hamengkubuwono II akan melakukan kompromi-kompromi.
Demi kepentingannya, kata Sagimun MD, Belanda tidak segan-segan untuk menjalankan tindakan-tindakan yang merugikan bangsa Jawa. “Suatu usaha yang sangat licik pula dari pihak Belanda untuk mengurangi dan menghilangkanm pengaruh Pahlawan Diponegoro ialah penangkatan kembali Sultan Hamengkubuwono II,” tulis Sagimun MD.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Pahlawan Dipanegara Berdjuang karya Sagimun MD (1965)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]