Diponegoro dan Pengikutnya Berhasil Selamatkan Diri pada Waktu Maghrib Saat Rumahnya Dibakar Belanda, Sempat Shalat Maghribkah Mereka?
Diponegoro mengawali Perang Jawa dengan kepedihan, mengakhirinya dengan kepedihan pula. Sebelum memulai Perang Jawa, ia harus menyelamatkan diri pada waktu Maghrib saat Belanda menyerbu tempat tinggalnya di Tegalrejo dan membakar rumahnya.
Sebelum Perang Jawa berakhir, ia memiliki firasat akan kalah. Orang-orang dekatnya gugur di medan perang dan atau ditangkap oleh Belanda.
Pada 17 September 1829, paman Diponegoro, Pangeran Prabuningrat, gugur di medan perang. Saat itu ia bersama Diponegoro sedang beristirahat di perbukitan Selarong.
Belanda melakukan serangan mendadak. Prabuningrat pun mengerahkan pasukan pengawal yang berjumlah 50 orang untuk menghadapi serangan Belanda.
Oohya! Baca juga ya: Setelah Meninggalkan Tegalrejo, Diponegoro Mengerahkan Para Bandit Saat Memulai Perang Jawa untuk Pasang Jebakan Bambu Runcing
“Tapi dirinya tewas terkena sabet pedang saat kembali bergabung dengan pasukan utama Diponegoro,” tulis Peter Carey.
Perwira Belanda Letkol BJ Sollewijn menceritakan, saat pasukan Belanda menyerbu Selarong, seorang pemberontak yang berpakaian rapi berhasil meloloskan diri. Ia hendak melarikan diri menggunakan kudanya.
“Tapi kudanya mendadak kena tembakan dari bagian bawah {...]. Sersan Cassenhoven minta izin menyerang dengan pasukan kavaleri dan ia mengejar orang itu serta membacoknya [...],” tulis Peter Carey mengutip Sollewijn.
Belum diketahui identitas orang itu, hingga penduduk desa menemukan keris bertatahkan intan berlian. Keris itu diketahui milik Pangeran Prabuningrat.
“Kelak Diponegoro menyatakan bahwa tembakan meriamlah yang mengenai kuda Prabuningrat sampai jatuh, mengudungkan kaki kiri pamannya,” tulis Peter Carey.
Oohya! Baca juga ya: Diminta Pakubuwono II Mengusir Orang Cina, Bupati Grobogan Disebut Ingin Mengusir Anjing tetapi Mengempit Anak Anjing
Setelah kematian Prabuningrat, Diponegoro berkeluh kesah kepada pamannya yang lain, Pangeran Mangkubumi. Diponegoro mengatakan telah menerima wangsit jika perjuangannya akan sia-sia selain mati syahid yang akan ia alami.
Empat hari kemudian, paman yang lain, Pangeran Ngabehi --yang menjadi panglima perangnya, gugur di tangan Belanda di Pegunungan Kelir. Ia gugur bersama dua anaknya, Adikusumo dan Joyokusumo.
Pada mulamya, Pangeran Ngabehi mencoba menyelamatkan dengan mengaku sebagai kangjeng gusti, sebutan untuk pangeran keraton. Saat itu Ngabehi bersama 20 prajurit berkudanya dikepung oleh Belanda di Sengir, dekat Pegunungan Kelir.
Namun, perwira junior Belanda yang orang Ternate mengaku tidak mengenal kangjeng gusti. Ia meminta Prabuningrat untuk menyerahkan kerisnya.
Pangeran Ngabehi menolak menyerahkan keris. Akibatnya perwira junior Belanda itu memerintahkan prajuritnya menghabisi mereka.
“Baru setelah mereka dikenali, kepala Ngabehi dan dua putranya dikuburkan secara Islam,” tulis Peter Carey.
Mendengar kabar pamannya gugur di tangan Belanda, Diponegoro menyadari diriya tinggal sendirian dan tidak bisa lagi mengendalikan hal yang akan terjadi kemudian. Di kemudian hari, Pangeran Mangkubumi ditangkap Belanda.
Awal dan akhir Perang Jawa yang menyedihkan. Pada November 1829 ia hampir tertangkap. Tiga bulan ke depan, kata Peter carey, Diponegoro berjuang hampir seorang diri, bersembunyi di gubuk-gubuk dan rumah-rumah kosong di tengah hutan di Bagelen bagian barat.
Oohya! Baca juga ya: Bupati Grobogan pun Bersikap ketika Pakubuwono II Berpihak kepada Kompeni dan Perintahkan untuk Mengusir Orang Cina
“Siapa gerangan yang tak tergugah dengan kepedihan detik-detik ini? Diponegoro berbusana untuk perang sabil sedang meloloskan diri lewat sawah-sawah sementara api berkobar membakar Tegalrejo yang ia cintai,” tulis Peter Carey mengenai upaya penyelamatan diri Diponegoro pada Rabu, 20 Juli 1825..
Diponegoro menunggang kuda, beserta pengikutnya menyelamatkan diri melalui jalan setapak dan sawah-sawah. “Sejam kemudian Sang Pangeran dan pengikutnya sempat bershalat Maghrib di jalan raya dekat Sentolo,” kata Peter carey.
Besok harinya, Kamis, 21 Juli 1825, mereka tiba di Selarong.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]