Lincak

Setelah Meninggalkan Tegalrejo, Diponegoro Mengerahkan Para Bandit Saat Memulai Perang Jawa untuk Pasang Jebakan Bambu Runcing

Gambar yang memperlihatkan Diponegoro sebagai wali Sultan Hamengkubuwono IV sedang menempeleng Patih Danurejo IV dengan selop (gambar diambil dari buku 'takdir, riwayat pangeran diponegoro' karya peter carey).

Belanda mengepung Tegalrejo, kemudian membakar rumah Diponegoro setelah berhasil memukul perlawanan para pengikut Diponegoro. Lewat gerbang barat Tegalrejo, Diponegoro menyelamatkan diri bersama sebagian besar pengikutnya saat Maghrib tiba untuk menyiapkan Perang Jawa.

Mereka melewati jalan setapak dan sawah-sawah yang tergenang akibat salah musim. Saat itu bulan Juli 1825, tapi hujan sudah turun di Tegalrejo. Prajurit Belanda bisa melihat Diponegoro dan pengikutnya menyelamatkan diri lewat sawah-sawah itu.

“Pangeran Diponegoro tidak jauh dari situ sambil menunggang kuda hitam yang indah [Kiai Gitayu] dengan perlengkapan berkuda sangat bagus,” tulis Peter Carey mengutip catatan Antoine Auguste Joseph (AAJ) Payen.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Payen adalah seniman yang bekerja di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Ia mendapatkan laporan lengkap tentang penyerbuan Tegalrejo dan usaha Diponegoro menyelamatkan diri dari rekannya, Letnan Jean Nicoolas de Thierry.

Oohya! Baca juga ya: Starbucks Masih Diboikot Gara-gara Israel, Pelanggan Bisa Mengadukan Barista ke Seatle

Letnan Thierry menjadi komandan regu kavaleri berkekuatan 25 prajurit. Ia ikut bertugas menyerbu Tegalrejo pada 20 Juli 1825, membuat gambaran tentang Diponegoro seperti yang ditulis Payen.

“Ia berbusana seluruhnya putih dengan gaya Arab. Ujung serbannya melambai-lambai diterpa angin saat ia membuat kudanya berjingkrak. Tali kekang diikatkan ke sabuknya, ia [terlihat] seperti menari (tandak) di tengah pasukan kawalnya yang bersenjatakan tombak,” lanjut Payen yang dikutip Peter Carey.

Pada kamis, 21 Juli 1825, Diponegoro tiba di Selarong. Ikut bersama Diponegoro, ada pula Mangkubumi, paman dari Diponegoro. “Di sana, dekat gua tempat Pangeran sering bersemadi, mereka menancapkan panji-panji pemberontakan. Genderang Perang Jawa pun dimulai,” tulis peter Carey.

Pengepungan Tegalrejo itu melibatkan pasukan gabungan Belanda-Keraton, dilakukan setelah Diponegoro menolak ke Yogyakarta untuk melakukan perundingan. Pada mulanya, Diponegoro menuntut agar Patih Danurejo dipecat, tetapi Residen Yogyakarta Smissaert menolaknya.

Diponegoro meminta Smissaert yang datang di telagrejo untuk berunding. Smissaert juga menolak karena ia merasa keselamatannya terancam jika ia berangkat ke Tegalrejo.

“Jika saya pergi [ke tegalrejo] dan terbunuh di sana, kematian saya akan membuat seluruh komunitas masyarakat Eropa di Yogyakarta berada dalam bahaya [...] [Hal itu] akan membuat nafsu membunuh orang Jawa makin menjadi-jadi,” kata Smissaert seperti dikutip Peter Carey.

Oohya! Baca juga ya: Cara Kompeni Menenangkan Orang-Orang Eropa yang Resah Setelah Kapten Tack Dibunuh oleh Untung Suropati di Kartosuro

Ini mengingatkan pada keresahan orang-orang Eropa di pesisir utara setelah Kapten Tack dibunuh pada 1686. Mereka takut pengikut Untung Suropati akan menyerbu mereka, padahal Untung Suropati dan pengikutnya sudah bergerak ke arah timur.

“Demikianlah ketakutan menahun orang Eropa, yakni bahwa orang Jawa dapat mengamuk, dibangkitkan kembali sebagai alasan. Setelah menggambarkan Diponegoro sebagai seorang fanatik, Smissaert meyakini bahwa pangeran akan melakukan amok (amuk) juga, sekalipun ia menyadari arti politisnya,” ujar Peter Carey.

Pemerintah kolonial telah mengangkat Diponegoro dan Mangkubumi sebagai wali sultan dari Sultan Hamengkubuwono V yang diangkat menjadi raja di usia dua tahun. Smissaert melihat posisi politik Diponegoro.

Diponegoro menuntut Danurejo dipecat karena rencana pelebaran jalan yang dibuat Belanda atas persetujuan Danurejo tidak disampaikan kepada Diponegoro. Tiba-tiba, tanah Diponegoro yang akan terkena pelebaran jalan, dipaok oleh anak buah Danurejo.

Diponegoro pun melakukan perlawanan, mengganti patok-patok itu dengab tombak-tombak. Ini, kata Peter Carey, “Menjadi isyarat bahwa Pangeran menganggap pekerjaan jalan yang tanpa pemberitahuan dan tanpa mengindahkan tata krama itu merupakan penyebab perang, casus belli.”

Di Selarong, para petani penggarap lahan Diponegoro ternyata sudah disiap digerakkan. Selama tinggal di Tegalrejo, Diponegoro mendapat jatah tanah seluas 500 cacah. Artinya, luas tanahnya bisa digarap oleh 500 petani.

Luas tanah yang digarap satu petani sekitar 7.000 meter persegi. Luas 500 cacah berarti 350 hektare.

Oohya! Baca juga ya: Kapal Isap Pasir Laut Kembali Beroperasi di Perairan Pulau Tunda dan Teluk Jakarta, Koalisi NGO Bersuara

“Banyak pengikut Pangeran telah siap berperang, memperlengkapi diri dengan senjata-senjata tradisional seperti ketapel, gada, dan juga tombak yang terbuat dari bambu yang diruncingkan alias bambu runcing,” ujar Peter Carey mengutip AAJ Payen.

Tiga bulan sebelum Tegalrejo diserang Belanda, Diponegoro sudah membebaskan para petani dari pajak puasa. Pada Mei itu, masih dalam bulan Ramadhan, Diponegoro benar-benar meninggalkan Keraton, meninggalkan tugasnya sebagai wali sultan karena keberadaannya sudah tidak dianggap lagi.

Ia lalu rajin membantu para petani, bahkan ikut memanen padi. Karena petani tidka lagi membayar pajak, uang yang sedianya dipakai untuk membayar pajak puasa digunakan untuk membeli persenjataan.

Para bangsawan yang mendukung Dipoengoro juag menyumbangkan emas dan harta mereka. Diponegoro pun mengerahkan para bandit yang bergabung kepadanya untuk membekal iring-ringan konvoi Belanda yang membawa logistik.

Para bandit itu juga diberi tugas melumpuhkan jalur komunikasi dan perbekalan Belanda. Pohon-pphon ditebang untuk merintangi jalan, jembatan kayu dibakar, lubang-lubang jebakan dibuat dengan bambu runcing ditaruh di dalamnya.

Oohya! Baca juga ya: Setelah Menginjak Biji Kopi di Batavia, Tentara Inggris Seret Sultan Yogyakarta di Depan Diponegoro

Mengerahkan para bandit membuat Diponegoro dijatuhkan mentalnya. Orang yang fanati agama yang berpantang melakukan perbuatan tercela, justru orang-orang yang tercela perbuatannya. Orang-orang yang disanggap sebaai sampah masyarakat.

Pada 7 Agustus 1825, Dipoengoro lalu merebut Yogyakarta. Selama tujuh hari bertempur dengan mengerahkan 6.000 orang, Diponegoro behasil merebut Yogyakarat dari cengkeraman Belanda.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Asal Usul Perang Jawa karya Peter Carey (2001)
- Takdir karya Peter Carey (2014)

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam