Dipanggil Belanda ke Magelang pada Bulan Puasa, Mengapa Diponegoro Disembelihkan Lima Ekor Kerbau Setiap Hari dan Terjadi Gerhana Rembulan Penuh?
Setiap bulan puasa datang, Diponegoro akan menyepi di Menoreh. Tak ada perang selama bulan puasa itu.
Tapi, pada bulan puasa 1830, Diponegoro memenuhi undangan Belanda untuk berkunjung ke Magelang. Dua hari tinggal di Magelang, terjadi gerhana rembulan penuh. Apa artinya?
Lalu, setiap hari disembelih lima ekor kerbau. Untuk apa?
Selama di Magelang, Diponegoro bersilaturahmi dengan Jenderal De Kock. Selebihnya, menunggu sampai Lebaran tiba untuk kemudian melakukan perundingan.
Oohya! Baca juga ya:
Selama Perang Diponegoro, Para Lurah akan Dijatuhi Hukuman Mati Jika Membantu Belanda
Demi memenuhi keinginan Belanda, Diponegoro bersedia untuk tidak menjalankan ibadah puasa di Menoreh. Tapi tak ada perundingan selama bulan puasa di Magelang.
Diponegoro sempat mengurungkan kepergiannya ke Magelang. Alasannya, ke Magelang selama bulan puasa hanya akan buang-buang waktu saja. Selama bulan puasa, tak mungkin menghasilkan perundingan.
Bagi Diponegoro, bulan puasa waktunya untuk beridabah. Jadi tak mungkin digunakan untuk melakukan perundingan.
Waktu itu ia sudah meninggalkan Menoreh untuk menuju Magelang. Tetapi ia batalkan, lalu kembali ke Menoreh.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro akan menyepi lagi di Menoreh selama bulan puasa seperti kebiasaan yang sudah ia lakukan sebelum-sebelumnya. Ia lalu meminta Letnan Kolonel Cleerens mengirim surat ke Jenderal De Kock, menyampaikan tuntutan-tuntutan Diponegoro.
Tapi kemudian muncul kompromi. Diponegoro bersedia berangkat lagi ke Magelang. Sekadar untuk bersilaturahmi dengan Jenderal De Kock.
Selama di Magelang, Jenderal De Kock menemui Diponegoro sebanyak tiga kali. Yang pertama mendatangi di pesanggrahan Diponegoro pada waktu sahur.
Dua pertemuan lagi ia lakukan pagi hari setelah Subuh. De Kock menemani Diponegoro menikmati udara pagi dengan jalan-jalan di taman karesidenan.
“Menurut kesaksian Diponegoro, tiga pertemuan ini berlangsung dalam suasana menyenangkan dan santai, denan keduanya bertukar canda dan merasa senang bertemu,” tulis Peter Carey.
Dalam pertemuan-pertemuan itu, baik Residen Kedu dan ajudan De Kock tidak menyertainya. Itu yang menurut Peter Carey yang membuat mereka bercanda dalam suasana yang menyenangkan.
Oohya! Baca juga ya:
Presiden Sukarno dan Selasa Gila di Sarinah Setelah Uang Rp 1.000 Diubah Jadi Rp 1
Baik De Kock dan Diponegoro sama-sama baru ditinggalkan istri masing-masing. Pada November 1827, Diponegoro kehilangan Raden Ayu Maduretno, putri Adipati Ronggo yang ia nikahi pada 1814. Pada November 1828, De Kock juga kehilangan istrinya.
Karena tidak mendampingi De Kock, maka ajudan De Kock dan Residen Kedu mendapat olok-olok. Ajudannya dianggap memerlukan waktu tidur yang lebih banyak sehingga tidak bisa menyertai jenderalnya, sedangkan Residen Kedu dianggap enggan meninggalkan gundik di pagi-pagi buta.
Pangeran Diponegoro tiba di Magelang pada 8 Maret 1830. Jenderal De Kock menyambut hangat kedatangan Diponegoro saat itu.
“Segera setelah Pangeran tiba, ia memberinya hadiah istimewa berupa seekor kuda yang bagus warna abu-abu dan uang 10 ribu gulden yang dicicil dua kali untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa,” tulis Peter Carey.
Oohya! Baca juga ya:
Menteri KKP akan Buka Lagi Ekspor Benih Bening Lobster, Kiara Sebut KKP Makin Melangkah Mundur
Anggota keluarga Diponegoro yang menjadi tawanan Belanda di Semarang dan Yogyakarta diperbolehkan bergabung di Magelang. Rupanya, tak hanya anggota keluarga yang mendampingi Diponegoro di Magelang.
Ada banyak pengikutnya yang juga mengiringkannya. Ada sekitar 800 orang yeng ikut dalam rombongan Diponegoro.
“Diponegoro masih mempunyai banyak pendukung, di mana-mana rakyat menghormatinya,” tulis Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Van Den Bosh kepada Menteri Jajahan Belanda.
Maka, untuk keperluan makan rombongan yang besar itu, setap hari disembelih lima ekor kerbau selama bulan puasa. Lalu pada 28 Maret 1830, pada hari Lebaran kedua, Diponegoro mengunjungi kantor Residen untuk silaturahmi Lebaran dengan Jenderal De Kock.
Namun, itu menjadi hari nahas bagi Diponegoro. Diponegoro tidak diperbolehkan pulang.
Kekhawatiran pengikut Diponegoro terbukti. Pada 10 Maret 1830, terjadi gerhana rembulan penuh dan para pengikut Diponegoro membayangkan akan terjadi sesuatu yang tidak baik.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]