Lincak

Mataram Hancur Setelah 100 Tahun, Surut Setelah Ditinggal Sultan Agung

Foto adegan film Sultan Agung. Kota Mataram hancur pada tahun 1677, sekitar 100 tahun setelah dibangun.

Menantu Pangeran Kajoran, Trunojoyo, kembali ke Madura. Ia berganti menjadi Panembahan Maduretno, bermarkas di Surabaya.

Pangeran Kajoran, dikenal juga sebagai Raden Kajoran Ambalik dan Panembahan Romo berkunjung ke Surabaya. Trunojoyo berdiskusi dengan Pangeran Kajoran soal Mataram.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kata Pangeran Kajoran, tak perlu disesali jika Mataram harus hancur. Sudah takdirnya kota Matatam hancur setelah 100 tahun, surut setelah ditinggal Sultan Agung.

Oohya! Baca juga ya:

Kisah Aji Saka dan Merpati Yesus Kristus Menurut Ronggowarsito

Sebelumnya, Pangeran Kajoran mendapat permintaan dari Putra Mahkota Mataram agar menyerbu Mataram. Putra Mahkota ingin merebut tahta dari Amangkurat I.

Pangeran Kajoran menasihati agar Putra Mahkota bersabar. Sebab tanpa direbut pun nantinya tahta juga akan diberikan kepada Putra Mahkota.

Tapi bagi Putra Mahkota, ini bukan soal waktu. Ia sudah jengah dengan tindakan ayahandanya itu, yang telah merusak Mataram.

Perlu segera ada perbaikan agar Mataram tidak semakin rusak. Agar tidak muncul anggapan bahwa Putra Mahkota bermusuhan dengan Sang Raja, maka perlu orang lain yang merebut keraton.

Oohya! Baca juga ya:

Kalah Debat tentang Yesus Kristus, Kiai Jawa Masuk Kristen

Karena itulah Putra Mahkota meminta bantuan Pangeran Kajoran. Pangeran Kajoran kemudian mengenalkan menantunya, Trunojoyo, kepada Putra Mahkota.

Dari Kajoran pemberontakan kemudian dimulai. Dari Surabaya, Trunojoyo mengirim prajurit ke Kajoran.

Prajurit Madura dan Kajoran bersatu menyerang desa-desa yang takluk kepada Mataram. Hal itu membuat Amangkurat I marah dan mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan.

Kajoran dikepung pasukan Mataram. Pangeran Kajoran meninggalkan Kajoran menuju Surabaya, tujuannya tentu saja menemui menantunya, Trunojoyo, yang sudah bernama Maduretno.

Untuk beberapa tahun Pangeran Kajoran tinggal di Surabaya, hingga akhirnya Trunojoyo hendak pindah ke Kediri. Persiapan perang dilakukan di Kediri dan Trunijoyo mendiskusikan Mataram dengan Pangeran Kajoran.

"Meski Mataram hancur sekalipun, itu harus diterima karena memang sudah saatnya." Demikian Babad Tanah Jawi mengenai isi diskusi antara Trunojoyo dan Pangeran Kajoran.

Oohya! Baca juga ya:

Kenapa Yesus Kristus Diperkenalkan Sebagai Isa Almasih di Indonesia?

Berhari-hari kota Mataram diserbu pasukan Trunojoyo. Amangkurat I menyadari, serbuan pasukan Trunojoyo ini akan membuat kota Mataram hancur setelah berdiri 100 tahun.

"Tak terelakkan lagi negeri Mataram sudah hancur. Bukankah telah sampai janjinya bahwa nama Mataram ada selama seratus tahun?" Demikian Babad Tanah Jawi.

"Sri Raja Mataram telah menyadari bahwa ramalan Pangeran tidak nungkin akan berubah, yakni kota Mataram akan hancur. Sri Raja Matatam menerima sabda Tuhan." Demikian Babad Tanah Jawi.

Ki Ageng Pemanahan, mulai membangun Mataram pada 1575. Ia meninggal pada 1584, Sutowijoyo --anak Ki Ageng Pemanahan-- diangkat oleh Sultan Pajang sebagai adipati Mataram.

Di kemudian hari, Pajang menjadi negeri bawahan Mataram. Sutowijoyo menjadi raja Mataram dengan nama Panembahan Senopati sejak 1586.

Oohya! Baca juga ya:

Sejarah Yesus Kristus Disebut Isa Almasih di Indonesia

Pada 1601 Panembahan Senopati meninggal. Prabu Anyokrowati menjadi raja hingga 1613.

Prabu Anyokrowati kemudian digantikan oleh Sultan Agung hingga 1646. Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Agung.

Penggantinya, Amangkurat I, tak bisa mempertahankannya. Amangkurat I memerintah dengan lalim. 

Tatanan Mataram yang jaya pada masa Sultan Agung, hancur pada masa Amangkurat I. Hal itu membuat Putra Mahkota geram dan merencanakan pemberontakan. Trunojoyo membantunya.

Pada Juni 1677, Trunojoyo berhasil merebut keraton Mataram. Kota Mataram hancur setelah 100 tahun berdiri.

Amangkurat I melarikan diri diiringi oleh Putra Mahkota.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku III, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]