Lincak

Buka Hutan Jadi Desa Kristen Seribu Warga, Lalu Hancur dan Diambil Pemerintah

CL Coolen sedang membajak sawah sambil memberitahu warga tentang cara memeluk agama baru, Kristen. Membuka hutan, laki-laki Indo kelahiran Semarang itu lalu mengkristenkan banyak orang pada abad ke-19 di desa yang ia bangun. Sumber: buku tumbuh dewasa bertanggung jawab

Laki-laki Indo kelahiran Semarang ini dapat izin buka hutan untuk perkebunan pada 1827, yang ia sewa untuk 25 tahun. Luasnya mencapai 142 hektare, tapi ia justru memanfatkannya untuk membangun desa Kristen dan persawahan.

Pada 1844, lahan yang ia buka itu telah menjadi desa Kristen yang ramai, dengan sekitar 1.000 warga. Laki-laki itu, ayah campuran Rusia-Belanda dan ibu Jawa, CL Coolen namanya, sukses bercocok tanam di desa yang ia bangun, bernama Ngoro.

Tapi pada 1848 Gunung Kelud meletus, menghancurkan sebagian sawah, dan kebakaran juga menimpa desa di tahun yang sama. Kenapa lahan yang disewa Coolen berikut desa dan penduduknya itu kemudan diambil oleh pemerintah kolonial dari kewenangan Coolen?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Setelah membuka lahan, tujuh tahun kemudian, 1834, ia hanya mendapatkan pengikut sebanyak 100 laki-laki dewasa, 28 remaja, dan 122 perempuan dewasa. Sejak 1827 ia mengolah sawah sambil menyanyikan tembang rohani berbau Kristen-Jawa. Selama mengolah sawah itu ia beri tahu orang-orang cara memeluk agama baru, Kristen.

Ia masukkan legenda Jawa ke dalam nyanyian yang ia buat. Ketika hasil panen bagus, orang-orang semakin banyak berdatangan untuk menetap di Ngoro.

Menurut CW Nortier di buku Tumbuh Dewasa Bertanggung Jawab, Coolen mulai mengajarkan Kristen di Ngoro sejak 1835. Ia dirikan gereja di Ngoro.

“Di atas tanah ini Coolen berhasil memenuhi kebutuhan warganay secara material dan spiritual. Pendek kata, kehiduoan mereka yang bekerja di sana semata-mata bergantung pada Coolen,” tulis C Guillot di buku Kiai Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa.

Coolen membuat aturan untuk warganya. Ia larang warga bekerja pada hari Minggu. Pada hari Minggu itulah ia berkumpul dengan warga untuk bercerita tentang ajaran Kristen.

“Peraturan-peraturan Coolen menjadi azas bagi adat Kristen. Adat istiadat perkawinan, antara lain upacara pada waktu pertunangan, seperti pertukaran cincin, bagaimana sikap seorang perjaka dalam memilih bakal istrinya, upacara perkawinan sendiri, doa restu, bahkan pidato-pidato perkawinan pun, seluruhnya ditetapkan dan dikuatkan oleh Coolen sendiri,” tulis CW Nortier.

Coolen juga melarang warga memiliki lebih dari satu istri. “Setiap orang, beragama Kristen atau Islam, di desa ini harus mematuhi ketentuan tersebut,” tulis C Guillot.

Semuanya berjalan baik, hingga akhirnya muncul masalah pada 1842, dengan munculnya guru Kristen lain di sekitar Ngoro. Ada Emde di Wiung, tak jauh dari Ngoro.

Coolen menjadi sedih karena banyak warganya yang memilih guru Kristen lain demi mendapat baptis sebagai orang Kristen. Selama menjadi Kristen bersama Coolen, tak ada pembaptisan terhadap mereka yang masuk Kristen.

Rupanya, orang-orang Jawa yang sudah dikristenkan oleh Coolen itu ingin menjadi seperti orang Belanda. Sebab, dengan dibaptis mereka dianggap setara dengan orang Belanda.

“Akhirnya melalui Emde, mereka mengetahui bahwa Coolen seolah-olah telah mengelabui mereka dengan tidak mengatakan bahwa perlu dipermandikan untuk menjadi pemeluk Kristen sepenuhnya seperti orang-orang Belanda,” tulis C Guillot.

Jika Coolen mengajarkan Kristen dengan pendekatan Jawa, Emde mengajarkan Kristen dengan pendekatan gereja. Setiap orang Jawa yang masuk Kristen, oleh Emde dibaptis.

Berita Terkait

Image

Orang Islam Miskin Jadi Sasaran Kristenisasi di Grobogan Sejak Akhir Abad ke-19

Image

Mengapa Grobogan Jadi Sasaran Kristenisasi Zending Salatiga?

Image

Satu Pesantren di Grobogan Jadi Kristen, Cucu Sang Kiai Kelak Jadi Pendeta