Serbu Batavia, Sultan Agung Sudah Kalah Sejak Awal Penyerangan, Ini Penyebabnya
Sebanyak 60 kapal tiba di muara Ciliwung mengangkut 900 prajurit Sultan Agung Mataram pada 22 Agustus 1628. Mereka meminta diperbolehkan masuk untuk mencapai Batavia.
Dari kapal pesan dikirim kepada Gubernur Jenderal JP Coen. “Kami datang dengan damai.”
Setelah masuk, mereka melakukan penyerangan awal pada malam yang telah ditentukan. Tapi kalah sejak awal penyerangan, karena pasukan penyokong yang seharusnya membantu mereka, datang terlambat dua hari.
Oohya! Baca juga ya:
Mengapa Bahasa Indonesia Disebut Miskin Kosakata? Menyambut Pemutakhiran KBBI
Saat menerima permintaan izin masuk dari kapal-kapal Mataram itu, JP Coen hanya mengizinkan masuk 20 kapal. Ia sudah curiga dari awal, karena tak mungkin datang untuk damai tetapi yang datang 60 kapal sekaligus.
Tanpa sepengetahuan JP Coen, Sultan Agung memang berencana menyerang Mataram. Ada kapal-kapal lain yang datang dari arah selatan kota.
Pada hari yang telah ditentukan mereka yang telah masuk dari muara Ciliwung segera menyerang benteng pada tengah malam. Ada kelompok yang memanjat Benteng Berlian dan Rubi, yang lainnya memanjat Benteng Mutiara dan Safir.
Saat mereka memanjat benteng itu, seharusnya mereka disokong oleh pasukan lain yang seharusnya datang dari selatan. Tapi, pasukan itu terlambat datang, bahkan sampai dua hari keterlambatannya.
Prajurit Kompeni pun berhasil menghalau mereka yang memanjat benteng tanpa sokongan pasukan bantuan itu. Mereka harus berlari ke kapal-kapal mereka.
Oohya! Baca juga ya:
Sakit Hati kepada Petugas Bea Cukai Sebelum Pecah Perang Jawa
Ada waktu untuk penduduk Batavia melakukan persiapan. Dua hari kemudian mereka melihat pasukan besar prajurit Mataram sedang berkemah di luar gerbang di selatan kota.
Saat itu, Batavia sudah memiliki lebih dari 8.000 penduduk. Jumlah penduduk Batavia, pada 1624 sudah tercatat 8.000 orang, bertambah dari 2.000 orang pada 1619.
JP Coen telah memerintah penduduk yang berada di selatan kanal untuk mundur ke kastil. Kastil menjadi tempat pertahanan yang paling aman bagi penduduk Batavia.
Ketika prajurit Sultan Agung itu hendak melakukan penyerangan, mereka melihat tanah yang berwarna kemerahan. Lokasi itu kemudian dikenal sebagai Tanah Abang.
Pasukan Mataram terus bergerak ke arah utara, hingga mendekati bagian selatan kota. Mereka bakar gereja dan rumah, termasuk kediaman Trientje Willemd, pemilik perkebunan di selatan kota Batavia.
Pasukan Mataram juga bergerak ke tepi barat Ciliwung dan menebangi pohon-pohon di perkebunan Trientje. Meski begitu, prajurit Mataram tetap kalah, gagal menembus tembok kota di bagian selatan ini.
Oohya! Baca juga ya:
Tahan Alat Bantu Hibah untuk SLB, Bea Cukai Pernah Diambil dari Kemenkeu Zaman Menkeu Radius Prawiro
Di Menara Hollandia ada 25 prajurit Kompeni. Mereka berupaya menghalau prajurit Mataram yang terus berusaha mendekati pintu gerbang.
Mereka memberikan serangan dari atas menara. Prajurit Mataram yang mencoba mendekati pintu gerbang terpaksa lari tunggang langgang karena serangan dari atas menara itu.
Berbagai upaya terus diupayaan tiap hari, tetapi selalu gagal. Tangga-tangga yang mereka gunakan untuk memanjat tembok bisa dirobohkan oleh prajurit Kompeni dari dalam tembok.
Prajurit Mataram berulang kali memasang tangga. Berulang kali pula tangga itu dirobohkan oleh prajurit Kompeni.
Prajurit Mataram mencoba menghalau mereka dengan lemparan tombak dan batu. Tapi upaya ini tanpa hasil.
Oohya! Baca juga ya:
Tombak-tombak dan batu-batu itu yang dilemparkan itu tak mampu mengusir prajurit Kompeni. Hari demi hari begitu terus.
Hingga akhirnya, prajurit penjaga menara kekurangan perbekalan. Prajurit Mataram juga terus mengatur strategi.
Maka, pada 21 November 1628 tengah malam, prajurit Mataram kembali memanjat tembok. Senjata prajurit Kompoeni di menara tinggal pot tanah dan tahi.
Maka, dengan pot dan tahi itulah prajurit Kompeni yang berjaga di Menara Hollandia mengusir prajurit Mataram. Pot dan tahi itu dilempatkan ke arah tembok ketika prajurit Sultan Agung memanjat tembok kota Batavia.
Para prajurit Sultan Agung kalah lagi dan harus melarikan diri lagi dari penyerangan itu akibat lemparan-lemparan tahi itu.
“Kelak, kota ini dengan nada bercanda disebut sebagai kota tahi,” ujar Herald van der Linde.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Jakarta, History of a Misunderstood City, karya Herald van der Linde (2020)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com