Lincak

Sakit Hati kepada Petugas Bea Cukai Sebelum Pecah Perang Jawa

Sebelum pecah Perang Jawa, banyak rakyat dan pejabat yang sakit hati kepada petugas bea cukai di pintu-pintu perbatasan. Mereka kemudian mendukung Diponegoro dalam Perang Jawa

Penjaga pintu-pintu perbatasan menyebar mata-mata untuk mengawasi petani. Dengan cara ini, pengelola bea cukai di pintu-pintu perbatasan dapat mengejar para petani yang menghindari pembayaran bea cukai beras.

Tarif bea cukai untuk beras berbeda di setiap wilayah. Di Ampel, misalnya, beras sepikul yang akan melewati pintu perbatasan dikenai pungutan sebesar 40 sen.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Banyak yang sakit hati akibat ulah petugas bea cukai di pintu perbatasan itu. Mereka kemudian bergabung dengan Diponegoro dalam Perang Jawa.

Oohya! Baca juga ya:

Tahan Alat Bantu Hibah untuk SLB, Bea Cukai Pernah Diambil dari Kemenkeu Zaman Menkeu Radius Prawiro

Tapi beras sepikul di Surakarta lebih murah. Tarif bea cukai di pintu perbatasan Sala-Salatiga sebesar 15 sen.l untuk sepikul beras

Di Ponorogo lebih kecil lagi. Beras sepikul kena pajak delapan sen.

Di Puger Waru, daerah Pacitan, jauh lebih murah lagi. Petani yang akan melintas dengan membawa sepikul beras hanya membayar dua sen.

Pada 1811, jumlah pintu perbatasan di Yogyakarta, misalnya, hanya 34 gerbang utama. Gerbang kecil ada sekitar 70 buah.

Oohya! Baca juga ya:

Pakai Toga di Depan Ka'bah, ke Kampung Pramoedya Ananta Toer Jadi PPPK Guru, Inilah Kisah Mojang Bandung

Pada 1821 pintu perbatasan mencapai 45 gerbang utama. Ada 106 gerbang kecil dan 187 pos pasar.

Kenaikan itu terjadi setelah Belanda merampas pajak-pajak yang dipungut dari pintu-pintu perbatasan. Karenanya pihak keraton menambah lagi pintu-pintu perbatasan untuk urusan kepabeanan.

Setiap orang yang keluar-masuk pintu perbatasan akan terjaring kepabeanan.Jika yang lewat adalah pedagang Cina, tarif yang dikenakan untuk barang yang dibawa besarnya tiga kali lebih besar dari pungutan yang diberikan kepada orang Jawa.

Padahal yang mengelola pabean di pintu perbatasan itu juga orang Cina. Keraton Yogyakarta menyewakan pengelolaan pabean itu kepada orang-,orang Cina.

Di pintu perbatasan itu juga dijual candu eceran. Untuk mendapatkan pembeli, petugas bea cukai akan memperlama urusan kepabeanan.

Akibatnya, orang-orang yang akan melintas harus menunggu lama. Bahkan harus menginap, Hal ini juga membuat munculnya rasa sakit hati kepada perugas bea cukai, lalu mereka yang sakit hati mendukung Diponegoro dalam Perang Jawa.

Oohya! Baca juga ya:

Begini Aktivitas Bea Cukai Zaman Anak Sultan Agung Jadi Raja Mataram

Penjaga pintu perbatasan akan mrmberikan hiburan kepada mereka. Yaitu dengan cara menawarkan candu atau permainan judi.

Pemungutan bea cukai dilakukan dengan cara tidak bersahabat. Bahkan cenderung intimidatif.

Mereka membentak-bentak agar orang-orang yang akan melintas mrenyerahkan sejumlah barang. Banyak petani yang menunggu bekas kasihan dari mereka.

Meski sudah memelas-melas, tetap tak ada ampun bagi mereka. Jika penolakannya makin kuat, barang bawaannya justru akan dirampas semuanya.

Bea cukai di pintu perbatasan ini tak hanya diberlakukan kepada rakyat kecil. Pejabat pun kena.

Bupati Nganjuk mengaku lebih berani berhadapan dengan harimau daripada harus berhadapan dengan petugas bea cukai di pintu perbatasan. Ia menyebut para petugas bea cukai di jalan raya Nganjuk-Surakarta sebagai tukang pukul bermuka bulus.

Bahkan, mereka juga tak segan memungut bea dari orang-orang yang tak membawa barang. Maka, muncullah istilah pajak bokong (pajak pantat).

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825) karya Peter Carey (1986)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksioohya.republika@gmail.com