Lincak

Begini Aktivitas Bea Cukai Zaman Anak Sultan Agung Jadi Raja Mataram

Lukisan Pelabuhan Jepara abad ke-17. Tak pernah membayar bea cukai, membuat Kompeni dikenai harga padi sebesar 15 riyal per koyan di Jepara pada masa Mataram dipimpin oleh anak Sultan Agung.

Mataram menaikkan harga beras kepada Kompeni. Dengan harga yang lebih tinggi itu, kapal-kapal Kompeni tak perlu membayar bea cukai.

Hal itu dilakukan pada masa anak Sultan Agung, Amangkurat I, memimpin Mataram. Penyebabnya, kapal-kapal Kompeni tak pernah mau membayar bea cukai untuk beras yang akan mereka angkut ke Baravia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mataram pernah mencoba cara lain dalam urusan bea cukai ini. Yaitu menggadaikan kepabeanan Jepara ke Kompeni seharga 10 ribu riyal per tahun, tapi Kompeni menolaknya.

Oohya! Baca juga ya:

Tahan Alat Bantu Hibah untuk SLB, Bea Cukai Pernah Diambil dari Kemenkeu Zaman Menkeu Radius Prawiro

Di Pati, Tumenggung Pati Ngabei Martonoto juga berniat memungut bea cukai 1.000 riyal per kapal yang menurunkan-menaiikkan barang dagangan. Residen Evert Michielsen menolak keras ide itu.

Martonoto pun pura-pura marah. Ia lalu membuat surat yang membolehkan Kompeni melakukan perdagangan bebas.

Syaratnya: asal mau membayar bea cukai. Ia mrnyebut ini sebagai kehendak Sunan Amangkurat I.

Sebelum dipungut bea cukai, pedagang Kompeni harus membeli beras seharga 15 riyal per koyan. Harga biasa beras di Mataram adalah delapan riyal per koyan.

Oohya! Baca juga ya:

Sultan Agung Minta Meriam untuk Bebaskan Tawanan, Orang Belanda Serendah Itukah?

Rijklof van Goens, kepala perdagangan Kompeni, peenah mendapatkan harga 50 riyal per koyan. Itu ia alami pada 1652.

Ia lalu menawarnya. Ia mendapat harga 14 riyal per koyan. Van Goens tak perlu lagi membayar bea cukai.

Amangkurat I dan penguasa-penguasa pesisir sebenarnya sangat berharap banyak dari bantuan Kompeni. Sebab Amangkurat I telah menerima permintaan Kompeni untuk membebaskan orang-orang Belanda yang ditahan di masa Sultan Agung.

Tapi Kompeni tak banyak membantu dalam urusan bea cukai ini. Kapal-kapal Kompeni sudah cukup lama tidak membayar bea cukai untuk penurunan dan penaikan barang-barang mereka

Penguasa Jepara yang menjadi bawahan andk Sultan Agung itu tak lagi menuntut 10 ribu riyal untuk gadai kepabeanan. Tapi tuntutannya lalu diarahkan ke uang sewa loji.

Kompeni diminta membayar uang sewa loji 10 riyal per bulan. Kompeni akan diusir dari wilayah Mataram jika tak mau membayar uang sewa loji.

Oohya,! Baca juga ya:

Pakai Toga di Depan Ka'bah, ke Kampung Pramoedya Ananta Toer Jadi PPPK Guru, Inilah Kisah Mojang Bandung

Michielsen menolak permintaan itu karena loji divangun atas izin Raja Mataram. Biayanya cukup besar pula.

Pungutan bea cukai ada juga di pintu-pintu perbatasan. Penarikannya tak hanya diberlakukan kepada orang-orang Bejanda saja yang nengangkut barang ke pelabuhan.

Rakyat Mataram juga terkena pungutan bea cukai untuk barang-barang yang mereka bawa. Pabean di pintu perbatasan ini disewakan pr nongelolaannya kepada orang-orang Cina.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]