Sultan Agung Minta Meriam untuk Bebaskan Tawanan, Orang Belanda Serendah Itukah?
Pada 1631, orang Belanda yang ditawan di Mataram ada 83 orang. Tapi Kompeni tak begitu memperhatikan mereka.
Kompeni baru memedulikan tawanan ketika pada 1632 Sultan Agung menawan 24 orang Belanda yang ditangkap di Jepara. Sultan Agung memanfaatkan para tawanan ini sebagai alat tawar ketika Kompeni meminta pembebasan mereka.
Intan, permata, arloji, lonceng, adalah beberapa barang yang sangat diinginkan oleh Sultan Agung. Tapi untuk ditukar dengan tawanan, Sultan Agung meminta dua meriam. Tapi, kata Kompeni, orang Belanda yang ditawan Sultan Agung tidak serendah itu.
Oohya! Baca juga ya:
Tahan Alat Bantu Hibah untuk SLB, Bea Cukai Pernah Diambil dari Kemenkeu Zaman Menkeu Radius Prawiro
Enam tahun perundingan sejak 1632 tak juga membuahkan hasil. Rupanya Kompeni enggan menukar tawanan dengan meriam.
Kompeni menyatakan bersedia memberikan dua meriam. Tapi dengan syarat: asalkan Sultan Agung membelinya dengan harga 4.000 riyal plus membebaskan para tawanan.
Untuk mendapatkan meriam itu, Sultan Agung harus mengirim uang terlebih dulu. Setelah itu baru bis amengirim utusan untuk mengambil meriam di Batavia.
Tapi, meriam itu bukan sebagai alat tukar tawanan. Bagi Kompeni, orang-orang Belanda yang ditawan di Mataram itu jauh lebih berharga daripada meriam.
Lalu, dari Batavia dikirim pesan rahasia kepada para tawanan agar mereka melarikan diri saja. Beberapa kali ada upaya tawanan melarikan diri, tetapi selalu tertangkap lagi.
Oohya! Baca juga ya:
Sultan Agung Tangkap 1.260 Orang Sunda Lalu Membunuh Mereka, Bagaimana Nasib Dipati Ukur?
Sebelum mengirim pesan rahasia menyuruh para tawanan melarikan diri, pada 1637 Kompeni mengirim surat ke Mataram mendesak agar para tawanan segera dikirim ke Batavia. Tapi Sultan Agung tak menggubris surat ini.
Sultan Agung sedang ada urusan internal keraton gara-gara Putra Mahkota menculik istri tercantik Tumenggung Wiroguno. Peristiwa itu membuat Sultan Agung mengurung diri lebih dari sebulan.
Sepuluh bulan berlalu Kompeni tidak juga mendapatkan balasan suratnya. Lalu mendapat informasi jika Sultan AGung sedang ada kesulitan dan urusan kerajaan.
Kasus penculikan istri Tumenggung Wiroguno oleh Putra Mahkota telah membuat Sultan Agung harus menghukum banyak orang. Terjadi pula pergantian patih.
Tumenggung Danupoyo digantikan oleh Tumenggung Dirontoko. Kompeni tak bisa lagi mengirim surat kepada Tumenggung Danupoyo untuk membahas orang Belanda yang tawanan dan meriam yang diminta Sultan Agung.
Ia harus berkirim surat kepada patih yang baru, Tumenggung Dirontoko. Tapi juga tak bisa dalam waktu dekat, karena Sultan Agung harus menyelsaikan urusan lain yang muncul akibat kasus penculikan itu.
Oohya! Baca juga ya:
Kasus penculikan istri Wiroguno oleh Putra Mahkota kemudian membuka rencana lain yang ditutup-tutupi sebelumnya. Muncul desakan agar posisi putra mahkota dialihkan kepada Pangeran Alit.
Akibatnya, ada 20 bangsawan pengikut Pangeran Ali yang dihukum mati. Sultan Agung kemudian meminta bantuan Antonie Paulo, kepala perdagangan Kompeni yang juga ditawan di Mataram, untuk membakar kapal-kapal yang belabuh di perairan sebelah timru Jepara.
Maka, pada Agustus 1638 ada 800 kapal di perairan sebelah Timur Jepara yang dibakar. Para pendukung Pangeran Alit dari timur yang sudah datang dengan demikian tidak bisa melarikan diri.
Urusan kerajaan selesai, tak berarti Kompeni segera mendapatkan pembebasan tawanan. Hingga akhirnya, Kompeni harus menyergap kapal Inggris di perairan Batavia.
Kapal Inggris itu yang membawa 18 jamaah calon haji yang dikirim oleh Sultan Agung pada 11 Juli 1642. Selain untuk berhaji, mereka juga menjadi utusan Sultan Agung untuk mendapatkan gelar sultan dari Makkah.
Oohya! Baca juga ya:
Aplikasi BDKlim Prediksi Kelembaban Udara untuk Lihat Kasus DBD di Bali
Saat itu, Sultan Agung masih memaakai gelar susuhunan: Susuhunan Anyokrowati. Belum memakai gelar sultan.
Penyergapan di perairan Batavia itu menyebabkan 15 calhaj dibunuh oleh Kompeni. Tiga lagi dijadikan tawanan.
Penyergapan ini dilakukan Kompeni untuk menyadarkan Sultan Agung agar segera membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan. Apalagi, sebelumnya Kompeni telah tiag kali memberikan tawaran akan mengirim orang Jawa naik haji jika Sultan Agung membebaskan para tawanan.
Tapi tindakan Kompeni keliru. Desakannya agar Sultan Agung segera melepaskan tawanan dengan janji Kompeni akan memberangkatkan para calhaj ke Makkah lagi-lagi tak digubris Sultan Agung.
Sultan Agung marah besar karena calhaj yang menjadi wakilnya untuk berangkat ke Makkah dihalang-halangi perjalanannya, bahkan dibunuh. Maka, Sultan Agung pun menangkap Antonie Paulo, orang Belanda yang ditunjuk Kompeni sebagai pimpinan tawanan, lalu dilemparkannya ke kolam buaya.
Sultan Agung tak lagi memikirkan meriam.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram, karya HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]