Mengapa Bahasa Indonesia Disebut Miskin Kosakata? Menyambut Pemutakhiran KBBI
Oleh Priyantono Oemar
Bergiat di Komunitas Jejak Republik
Pada awal-awal pertumbuhannya, bahasa Indonesia bisa disebut miskin kosakata. Maka, para wartawan yang peduli bahasa Indonesia dan kemudian mengadakan Kongres Bahasa Indonesia Pertama pada 1938, rajin memunculkan kosakata untuk memperkaya bahasa Indonesia.
Saat ini Badan Bahasa tengah bekerja keras memutakhirkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencapai 200 ribu kosakata. Ini kerja keras karena harus menambah 80 ribu kosakata pada 2024 ini dari semula rata-rata hanya menambah 2.000 kosakata per tahun.
Koran dulu dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai surat harian, sebagai padanan dari dagblad. Lalu, persdelict menjadi ranjau akhbar, karena pers dipadankan dengan akhbar dan delict dipadankan dengan ranjau.
Oohya! Baca juga ya: Kenapa Cucu Sultan Agung Pindah Ibu Kota ke Pajang? Dari Pajang Padahal Sudah Dipindah ke Mataram oleh Kakek Sultan Agung
Akhbar yang diambil dari bahasa Arab di kemudian hari tidak laku, karena kalah populer dengan pers yang langsung dipinjam oleh bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bertumbuh dan berkembang dengan cara itu: meminjam kata dari bahasa lain, baik itu bahasa asing maupun bahasa daerah.
Sampai sekarang masih begitu. Ketika laden dari bahasa Jawa diberi awalan pe- menjadi peladen, ia diberi makna baru sebagai padanan dari server dalam dunia teknologi informasi.
Maka, ketika ada orang menggunakan kata peladen, ia akan selalu memberi keterangan server di dalam kurung di belakangnya, agar orang lain dapat dengan mudah memahami arti kata itu. Mereka jarang memberikan keterangan berupa definisi yang sudah ada di KBBI.
Di Jawa, peladen adalah pemberi pelayanan. Tidak berarti harus pelayan.
Oohya! Baca juga ya: Pakai Toga di Depan Ka'bah, ke Kampung Pramoedya Ananta Toer Jadi PPPK Guru, Inilah Kisah Mojang Bandung
Dalam acara hajat, misalnya, ada kelompok pemuda dari Karang Taruna yang menyiapkan diri membantu si empunya hajat untuk menjadi peladen. Pekerjaan sehari-hari mereka bukan pelayan.
Bahasa Indonesia memiliki kosakata sendiri yang diambil dari kekayaan kosakata bahasa daerah. Tetapi karena dibentuk berdasarkan konsep asing, maka dalam penggunaannya sering dirujukkan kepada istilah asli dalam bahasa asing itu.
Ada teman yang menggunakan kata kekriyaan atau kekaryaan. Ia masih harus merasa perlu memberi keterangan di dalam kurung: craftsmanship.
Di pasti.kemdikbud.go.id, craftman dipadankan dengan tukang kerajinan dan juru rajin. Mungkinkah ketika kita menggunakan istilah juru rajin lalu kita harus memberi keterangan di dalam kurung istilah aslinya: craftman?
Padahal bahasa Indonesia sudah mempunyai perajin. Jika mau ditambahkan, ada pekriya, meski belum ada di KBBI. Jika memakai juru, juru kriya lebih enak didengar dan lebih tepat daripada juru rajin.
Begitulah risikonya, sehingga untuk memudahkan pemahaman diberi keterangan di dalam kurung kosakata aslinya dalam bahasa asing itu. Tak heran jika kemudian ada generasi milenial yang menyebut bahasa Indonesia miskin kosakata.
Ketika kata gelar griya diperkenalkan, untuk memudahkan pemahaman juga diberi keterangan dalam kurung istilah astinya, yaitu open house. Masyarakat Jawa memiliki tradisi seperti open house ala Amerika ini, tetapi kata dari bahasa Jawa tidak dipakai karena terkesan feodal maknanya.
Oohya! Baca juga ya: Sakit Hati kepada Petugas Bea Cukai Sebelum Pecah Perang Jawa
Sebutlah sungkeman dan ngabekten. Dua kata ini dipakai untuk menyebut tradisi Lebaran di Jawa yaitu ramai-ramai mendatangi rumah orang yang dituakan.
Konotasi feodalnya bukan dilihat dari mendatangi orang yang dituakan, melainkan dari perwujudan sungkeman dan ngabekten itu. Dua kata itu selalu dipahami dengan praktik jongkok bersimpuh lalu mencium tangan orang tua yang duduk di kursi, yang diartikan sebagai menyembah.
Sedangkan tradisi open house di Amerika, bersalaman dengan cara berdiri. Makna awal open house di Amerika sebenarnya bukan ini, melainkan mendatangi rumah yang akan dijual.
Meriam-Webster memberikan definisi: a house or apartment open for inspection especially by prospective buyers or tenants. Sedangkan definisi barunya: ready and usually informal hospitality or entertainment for all comers.
Presiden Amerika Serikat Goerge W Bush mengadakan open house pada 22 Januari 1989. Saat itu ia tidak sedang membuka rumahnya agar calon pembeli bisa memeriksa kondisi rumahnya.
Presiden Amerika biasanya mengadakan open house setelah pelantikan dirinya. Pelantikan diadakan pada 20 Januari.
Oohya! Baca juga ya: Sultan Agung Tangkap 1.260 Orang Sunda Lalu Membunuh Mereka, Bagaimana Nasib Dipati Ukur?
Open house diadakan di White House. Kantor dan tempat tinggal presiden Amerika tidak disebut istana seperti di Indonesia.
Presiden Soeharto mengadakan open house di rumah pribadinya di Cendana. Jokowi mengadakan open house di Istana Kepresidenan, yang berarti harusnya menggunakan istilah open palace.
Karena padanan open house tidak sungkeman atau ngabekten, maka dicarilah istilah baru yang memenuhi konsep open house ala Barat. Ketemulah gelar griya.
Pada awal-awal pengenalannya di dalam bahasa Indonesia, ketika mendengar istilah itu yang teringat adalah gelar perkara di kepolisian. Teringat pula istilah gelar tikar, yang bermakna akan berjualan atau akan menyimak diskusi.
Membuka pintu lebar-lebar, di Jawa dikenal dengan istilah jeblag. Diindonesiakan menjadi jeblak. Kata ini bisa menambah kosakata di KBBI untuk menggenapi 80 ribu kosakata yang diperlukan, agar bahasa Indonesia tidak disebut lagi miskin kosakata.
Orang-orang yang punya hajat bahkan harus membongkar dinding kayu bagian depan rumah mereka, sehingga rumahnya benar-benar terbuka lebar. Orang-orang akan berdatangan untuk bersalaman menyampaikan ucapan selamat.
Maka, tak ada salahnya open house dipadankan menjadi jeblag griya atau jeblak griya. Terdengar enak juga di telinga, tak ada kesan mau menjual rumah. Pun tak perlu memberi keterangan dengan menyebutkan open house di dalam kurung.
Oohya! Baca juga ya: Tahan Alat Bantu Hibah untuk SLB, Bea Cukai Pernah Diambil dari Kemenkeu Zaman Menkeu Radius Prawiro
Bagaimana orang-orang Barat menggunakan kata-kata yang diserap dari bahasa Indonesia? Apakah mereka akan memberikan keterangan di dalam kurung dengan menyebut padanannya dalam bahasa aslinya?
Di Minahasa pernah populer kata wuyang. Yaitu kain dari kulit kayu yang digunakan sebagai sarung oleh perempuan Minahasa. Di dunia internasional, kain dari kulit kayu disebut fuya. Kata ini berasal dari vuya.
"Diambil dari wuyang, nama kain sarung perempuan Minahasa,’’ tulis Raymond Kennedy di Journal of Polynesian Society volume 43 tahun 1934, mengutip Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie terbitan tahun 1917.
Di pedalaman Sigi, yaitu di Kulawi dan Pipikoro, saya mendapatkan penjelasan bahwa vuya adalah sebutan untuk selimut dari kain kulit kayu. Mereka memang menulisnya vuya, karena dulu leluhur mereka tak mengenal huruf W –tetapi Kulawi memakai huruf W. Sedangkan kain kulit kayu mereka sebut kumpe.
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]