Lincak

Kenapa Cucu Sultan Agung Pindah Ibu Kota ke Pajang? Dari Pajang Padahal Sudah Dipindah ke Mataram oleh Kakek Sultan Agung

Sketsa Keraton Mataram di Kartosuro. Kakek Sultan Agung memindahkan keraton dari Pajang ke Mataram. Pada masa cucu Sultan Agung, Mataram pindah ibu kota lagi ke wilayah Pajang, yaitu Kartosuro.

Amangkurat II menggantikan Amangkurat I sebagai raja Mataram. Cucu Sultan Agung itu lantas pindah ibu kota Mataram dari Plered.

Keraton di Plered bertahun-tahun dibangun oleh Amangkurat I, anak Sultan Agung. Istananya dikelilingi danau buatan dan Amangkurat I biasa bermain perahu di danau buatan itu.

Namun, mengapa Amangkurat II memindahkan ibu kota Mataram dari Plered ke Kartosuro? Lokasi keraton di Kartosuro tak jauh dari bekas keraton Pajang –yang pernah ada seabad sebelumnya, yang kemudian dipindah ke Mataram oleh kakek Sultan Agung, Panembahan Senopati.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Sakit Hati kepada Petugas Bea Cukai Sebelum Pecah Perang Jawa

Ketika Raden Benowo, anak Sultan Pajang, menyerahkan Pajang kepada Panembahan Senopati, Panembahan Senopati tidak mau berkeraton di Pajang. Ia tetap berkeraton di Mataram, lalu menjadikan Mataram yang semula hanya kadipaten sebagai kerajaan.

Pajang yang semula kerajaan ia jadikan kadipaten, di bawah kekuasaan Mataram. Pada 1630, setelah penyerbuan kedua Mataram ke Batavia, muncul rencana pemberontakan dari orang-orang yang tinggal di Pajang.

Sultan Agung berhasil menumpasnya. Ia bahkan menyempatkan diri berziarah ke makam keramat di Bayat, yang berada di wilayah Pajang.

Pada masa Amangkurat I, muncul lagi ketidakpuasan dari Pajang terhadap Mataram. Orang-orang Kajoran di Pajang bergabung dengan Trunojoyo melakukan pemberontakan.

Siapa Trunojoyo? Ia adalah anak Madura yang menjadi menanti Raden Kajoran Ambalik. Pertapa di Kajoran itu juga mertua dari Pangeran Wiromenggolo.

Oohya! Baca juga ya:

Begini Aktivitas Bea Cukai Zaman Anak Sultan Agung Jadi Raja Mataram

Pangeran Wiromenggolo adalah adik Pangeran Purboyo II, paman Amangkurat I. Raden Kajoran Ambalik masih ketururan dari Sunan Pandanaran II --menanti Sunan Pandanran I pendiri Semarang-- yang makamnya dikeramatkan di Bayat.

Trunojoyo merencanakan pemberontakan setelah mendapat permintaan dari putra mahkota mataram, Pangeran Adipati Anom. Putra Mahkot asakit hati kepada ayahnya, Amangkurat I, karena telah membunuh kakek Putra Mahkota, Pangeran Pekik.

Pangeran Pekik dibunuh beserta keluarganya karena dianggap telah menrencanakan penculikan Roro Oyi, calon selir Amangkurat I. Putra Mahkota menyukai Roro Oyi, Pangeran Pekik yang juga mertua Amangkurat I itu lalu menyuap pengasuh Roro Oyi dengan hadiah-hadiah mahal.

Tapi perlu waktu 11 tahun bagi Putra Mahkota untuk akhirnya menyetujui usulan-usulan para pengasuhnya agar ia memberontak, tanpa harus menunggu Mataram pindah ibu kota. Ia kemudian menghubungi pertapa Raden Kajoran Ambalik di wilayah Pajang. Raden Kajoran Ambalik lalu memperkenalkan Pura Mahkota dengan Trunojoyo.

Trunojoyo menyanggupi dengan segala risiko buruk yang akan ia hadapi. Trunojoyo juga ada masalah pribadi dengan anak Sultan Agung raja Mataram, sebab ayahnya dibunuh oleh prajurit Mataram saat Amangkurat I menyerbu Madura.

Jika ayahnya tidak meninggal, ayahnyalah yang akan menjadi adipati menggantikan Cakraningrat I. Maka, jika ayahnya menjadi adipati Madura, berarti kekuasaan Madura akan diturunkan kepadanya.

Oohya! Baca juga ya:

Sultan Agung Minta Meriam untuk Bebaskan Tawanan, Orang Belanda Serendah Itukah?

Ia pun menyanggupi permintaan Putra Mahkota dengan membawa tujuan pribadi juga. Ia ingin merebut Madura dari Cakraningrat II yang memimpin Madura dari keraton Mataram.

Orang-orang Kajoran juga mendukung Trunojoyo. Anak Sultan Agung yang menjadi raja Mataram bahkan harus meminta bantuan Kompeni untuk menumpas Trunojoyo.

Cucu Sultan Agung harus berpura-pura ingin menumpas Trunojoyo. Padahal sebenarnya ia ingin menggabungkan kekuatan.

Berkali-kali ia meminta kepada ayahnya, Amangkurat I, berkali-kali pula permintaannya ditolak. Hingga akhirnya Amangkurat I mengirim Putra Mahkota untuk menumpas Trunojoyo.

Tetapi anak Sultan Agung itu juga menggrim orang-orang kepercayaan untuk mengawasi Putra Mahkota. Akibatnya, gerak-gerik Pura Mahkota terbatasi.

Oohya! Baca juga ya:

Pakai Toga di Depan Ka'bah, ke Kampung Pramoedya Ananta Toer Jadi PPPK Guru, Inilah Kisah Mojang Bandung

Trunojoyo akhirnya berhasil merebut keraton Mataram setelah bertahun-tahun berjuang. Anak Sultan Agung yang meninggalkan keraton, meninggal dalam pelarian.

Cucu Sultan Agung lalu naik tahta dengan nama Amangkurat II. Ia kemudian juga meminta bantuan Kompeni untuk merebut keraton dari Trunojoyo sekaligus meminta Kompeni menumpas Trunojoyo.

Kompeni berhasil menahan Trunojoyo. Dengan tangannya sendiri, cucu Sultan Agung itu membunuh Trunojoyo dengan keris.

Keraton Plered sudah hancur akibat penyerbuan Trunojoyo. Hal itu membuat Amangkurat II menyiapkan rencana pindah ibu kota .

Ia membangun keraton di wilayah Pajang, yaitu Kartosuro. Lokasi ibu kota baru Mataram ini tak jauh dari bekas keraton Pajang yang ada seabad sebelumnya.

Rupanya cucu Sultan Agung itu ingin menghibur orang-orang Pajang yang berkali-kali memberontak terhadap Mataram. Yaitu dengan cara memindahkan ibu kota ke wilayah Pajang.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Runtuhnya Istana Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]