Pecah Keraton Sultan Agung, Belanda Kian Berkuasa Setelah Menangkap Diponegoro
Saat Diponegoro memulai Perang Jawa, Keraton Mataram yang pernah jaya di masa Sultan Agung sudah dipecah. Belanda memecahnya pada 1755 lewat Perjanjian Giyanti.
Mataram dibagi dua, menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Campur tangan Belanda mendapat gangguan dari Raden Ronggo pada 1809 dan Diponegoro pada 1825-1830.
Setelah menangkap Diponegoro pada Maret 1830, Belanda makin berkuasa. Ia mengatur batas wilayah dua keraton, mengambil wilayah mancanegara, menentukan dewan kerajaan, dan mengatur keuangan keraton.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Ditangkap, Kenapa Sultan Ditagih Ganti Rugi Perang oleh Belanda?
Saat Perang Jawa selesai, Sri Sultan Hamengkubuwono V masih berumur 10 tahun. Pada 1822, Belanda mengangkat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi menjadi wali Sultan.
Namun, Residen Yogyakarta dan Patih Danurejo mengambil peran mereka dengan dukungan dari ibunda Sultan. Padahal mereka bukan wali Sultan.
Diponegoro dan Mangkubumi kemudian memimpin Perang Jawa pada 1828. Sebelum Diponegoro ditangkap, Mangkubumi sudah terlebih dulu menyerah kepada Belanda.
Diponegoro ditangkap. Belanda kemudian melakukan reorganisasi keraton.
Oohya! Baca juga ya:
Tiru Anak Sultan Agung, Pejabat Kompeni Boleh Pamer Harta untuk Mendukung Penampilan
Sistem perwalian Suktan diperbaiki. Tujuannya untuk menghindari konflik yang dianggap telah menjadi penyebab pecahnya Perang Jawa.
Dibentuklah Dewan Kerajaan. Isinya tiga pangeran dari keraton, ditambah Residen dan Asisten Residen Yogyakarta.
Tiga pangeran dari keraton adalah Pangeran Mamgkubumi (Panembahan Mangkurat), Pangeran Mangkukusumo, dan Pangeran Adiwinoto. Residen dan Asisten Residen juga dimasukkan ke dalam Dewan Kerajaan.
Kesepakatan lisan hasil kerja Komisi Kerajaan-Kerajaan pada akhir April ditandatangani sebagai kesepakatan perdamaian pada 13 November 1830. Sepuluh hari kemudian, Belanda mengeluarkan perintah kepada Dewan Kerajaan.
Dewan Kerajaan telah dibentuk di salah satu keraton hasil pemecahan Keraton Mataram. Mataram pernah jaya pada masa Sultan Agung, dan penentang Belanda yang diteruskan oleb keturunannya: Diponegoro.
Isinya berupa peraturan menjaga ketertiban kehidupan keraton. Juga tentang penerapan sistem politik keraton selama Sultan dalam perwalian. Betapa Belanda makin berkuasa.
Oohya! Baca juga ya:
Sebelum Diserbu Sultan Agung, Kenapa JP Coen Larang Lelaki Belanda Punya Budak Perempuan?
Sultan Hamengkubuwono V baru diizinkan menjalankan pemerintahan setelah dianggap cukup umur. Yaitu pada 1836, saat berumur 16 tahun.
Maka, intervensi Belanda di keraton menjadi sangat dalam setelah Diponegoro ditangkap. Untuk benteng-benteng, Sultan wajib mengisinya dengan pasukannya sendiri.
Segela pengeluaran untuk operasional benteng ditetapkan oleh Belanda ditanggung oleh keraton. Belanda juga membentuk peradilan pidana pada 1831, di bawah residen.
Pada 1833, Residen Valck memaksa Patih Danurejo menyerahkan kekuasaannya atas tanah sewaan kepada Tumenggung Gondokusumo. Gondokusumo sangat dekat dengan Residen Valck.
Di Yogyakarta, Residen Valck menyederhanakan upacara-upacara. Hal itu dilakukan agar Sultan bisa membayar utang perang kepada Belanda.
Oohya! Baca juga ya:
Perlawanan Budak di Masyarakat Kolonial Batavia, Untung Suropati Jadi yang Paling Terkenal
Residen bahkan perlu berbicara keras mengenai hal ini. Tapi alasan yang ia kemukakan tentu bukan agar Sultan bisa segera membayar ganti rugi perang, melainkan bahwa kewibawaan Suktan tidak terletak pada uoacara-upacara yang mewah.
Kewibawaan Sultan terletak pada perhatian dan perlakuan baik terhadap rakyat dan usaha Sultan menyenangkan penerintahan Hundia Belanda. Residen me gancam akan turun tangan jika keinginannya itu tidak dipenuhi.
Utang itu ternyata tak hanya utang ganti rugi Perang Jawa. Itang dari ganti rugi seea lahan pun cukup besar, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta.
Di Surakarta, misalnya, keturunan Sultan Agung yang menjadi sunan Surakarta, Pakubuwono VI, memiliki utang kepada Belanda sebesar 1,6 juta gulden. Selain utang ganti rugi sewa tanah, juga utang untuk keperluan sebelum naik tahta.
Di Keraton Surakarta itu, Belanda juga harus menyelesaikan janji yang pernah diberikan kepada Pakubuwono VI. Ketika ingin menghentikan Diponegoro dalam Perang Jawa, Belanda menjanjikan perluasan wilayah kekuasaan Keraton Surakarta jika Pakubuwono VI bersedia membantu Belanda.
Setelah Diponegoro ditangkap, Belanda tak bisa memenuhnya. Bahkan malah mengambil alih wilayah mancanegara. Belanda makin berkuasa.
Oohya! Baca juga ya:
RA Kartini tak Suka Buku Java, tapi Ia Mau Membaca tanpa Jeda Jika Suka
Maka Pakubuwono VI menegaskan tak boleh ada sejengkal tanah Surakarta yang diambil Belanda. Di kemudian hari, Belanda menuntut suksesi di Surakarta.
Belanda menginginkan Pangeran Adipati Ngabehi, kakak Pakubuwono VII, yang naik tahta. Pada Desember 1834 Pangeran Adipati Ngabehi menjalankan tugas sebagai putra mahkota hingga 1836.
Itu dilakukan agar tidak memunculkan konflik yang mencolok dalam upaya mendongkel kekuasaan Pakubuwono VII.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Keraton dan Kompeni, karya Vincent JH Houben (2002)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]