Pitan

Tiru Anak Sultan Agung, Pejabat Kompeni Boleh Pamer Harta untuk Mendukung Penampilan

Pejabat Kompeni dan istri dibolehkan pamer harta untuk mendukung penampilan mereka. Gubernur Jenderal Rijklof van Goens meniru gaya pamer harta ala anak Sultan Agung.

Anak Sultan Agung, Amangkurat I, di masa tuanya pun masih suka pamer harta. Ia masih rajin membeli kain dan pakaian mewah untuk mendukung penampilan.

Selama ia bertahta, ia rajin memint ahadiah dari Kompeni. Hadiah itu bisa berupa pakaian, permata, berlian, emas, dan sebagainya, dan yang paling utama adalah kuda Persia dan gajah, sehingga anak Sultan Agung itu bisa pamer harta untuk mendukung penampilan.

Pada masa awal anak Sultan Agung itu berkuasa, Rijklof van Goens lima kali menjadi utusan Kompeni, ia biasa membawa hadiah untuk Amangkurat I. Ketika ia menjadi gubernur jenderal, ia membuat aturan membolehkan pejabat Kompeni dan keluarganya pamer harta.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Sebelum Diserbu Sultan Agung, Kenapa JP Coen Larang Lelaki Belanda Punya Budak Perempuan?

Saat mejadi utusan Kompeni pada 1648-1654, Van Goens masih sebagai kepala perdagangan Kompeni. Ia menjadi gubernur jenderal pada 1678-1681 saat Mataram dipimpin oleh cucu Sultan Agung, Amangkurat II.

Ia menjadikan model hierarki di Jawa dan Jepang sebagai model bagi pejabat Kompeni untuk panjat sosial (pansos) melalui jabatan dan prestasi mereka. Maka, kereta kuda dan perhiasan seperti berlian permata, mutiara, emas menjadi pendukung penampilan mereka.

Namun, yang boleh memiliki dibatasi. Tidak semu apejabat boleh memiliki kereta kuda. Pejabat rendah dilarang memiliki kereta kuda.

Bagi Kompeni, memberi hadiah kepada Raja Mataram beserta para pameran menjadi hal yang sudah biasa. Bahkan, Kompeni juga memberi hadiah kepada para penguasa negeri bawahan Mataram, yang dilakukan tanpa sepengetahuan raja Mataram.

Ia datang sebagai utusan Kompeni pertama kali pada 1648 dan yang kelima pada 1654. Perilaku raja dan para pangeran dalam berpenampilan ia pakai model untuk pejabat Kompeni.

Oohya! Baca juga ya:

RA Kartini tak Suka Buku Java, tapi Ia Mau Membaca tanpa Jeda Jika Suka

Maka, pada saat menjadi gubernu jenderal, Van Goens juga membolehkan istri dan keluarga pejabat memakai berlian, mutiara, emas, perak, permata, dan perhiasan lainnya sebagai pendukung penampilan. Izin kepemilikan itu ditentukan berdasarkan pangkat, seperti di Mataram.

Barang yang dimiliki oleh raja tentu saja menjadi tidak boleh dimiliki oleh pangeran-pangeran bawahannya. Maka, Pangeran Pekik di Surabaya misalnya, meski ia mertua Amangkurat I, tetapi ia merasa tak berhak memiliki ayam bekisar yang sangat indah bulunya.

Karenanya, ayam bekisar itu lalu ia persembahkan kepada Amangkrat I. Ia memberikannya dengan suasana yang formal, membawa hadiah dengan berpakaian dodot.

Kuda menjadi salah satu hadiah yang harus selalu disediakan Kompeni untuk Raja Mataram. Kudanya pun kuda Persia dan anak Sultan Agung dan para pengaran Jawa pun bisa pamer harta.

Hadiah-hadiah yang disediakan Kompeni, tidak semua sebagai inisatif Kompeni. Banyak juga yang disediakan karena permintaan dari keturunan Sultan Agung.

Kompeni akan menerima imbalan berupa pasokan beras atau kayu dan berbagai fasilitas lain yeng memungkinkan Kompeni menjalankan perdagangan di Jawa. Penguasa Pati Ngabei Martonoto pernah meminta hadiah atas nama anak Sultan Agung itu berupa unta dan bokrom lasker kepada pejabat Kompeni di Jepara.

Oohya! Baca juga ya:

Siapa Gadis Medang yang Jadi Rebutan Batara Wisnu dan Batara Guru? Halo Warga Grobogan, Ada yang Tahu?

Martonoto dan pejabat Kompeni yang menerima titipan permintaan itu tidak tahu yang dimaksud dengan bokrom lasker. Ketika Kompeni mengirimkan dua lembu berikut keretanya, Amangkurat I girang bukan kepalang.

Ia menggunakan kereta lembu itu untuk berkegiatan dari istana menuju Segarayasa. Segarayasa adalah danau buatan yang sedang ia bangun mengelilingi istana.

Di Segarayasa, Amangkurat I bermain perahu. Hingga 1661 pembangunan danau itu belum selesai.

Van Goens menjadi paham betul gaya hidup Amangkurat I dan pangeran-pangeran Jawa. Itulah yang mendorong Van Goens membolehkan pejabat Kompeni di Batavia pamer harta di depan publik.

Van Gones telah mengaturnya. Ia melakukan bukan karena ada saling iri antarpejabat dan keluarganya.

Bukan pula karena ada masalah dengan pelancong yang datang dengan perhiasan mewah. Ia membolehkannya karena perlunya ada kesamaan hak sesama pejabat kolonial.

Oohya! Baca juga ya:

Portugis Serbu Pasai Fatahillah Lari, Kenapa Portugis Kalah dari Fatahillah di Sunda Kelapa?

“Dengan model hierarki Jawa dan Jepang sebagai model mereka, parapejabat Batavia mengemukakan pangkat dan keterangan prestasi untuk naik tangga masyarakat VOC ataupun masyarakat umum yang bebas,” ujar Jean Gelman Taylor.

Hal yang dirintis oleh Van Goens ini kemudian diteguhkan oleh Jacob Mossel yang menjadi gubernur jenderal pada November 1750. Tapi, Mossel membuat aturan berdasarkan kesombongan pribadi.

Bagaimana tidak sombong. Hanya gubernur jenderak dan anggota Dewan Hindia beserta istri dan jandanya yang boleh mempekerjakan kusir berbangsa Eropa untuk menarik kereta kuda milik mereka.

Pejabat-pejabat Kompeni di bawah gubernur jenderal yang sebelumnya memiliki kereta kuda harus memecat kusir mereka yang berbangsa Eropa. Bahkan pensiunan pejabat menengah pun juga tak boleh memiliki kereta kuda, apalagi mempekerjakan kusir berbangsa Eropa.

Peraturannya itu membuat pensiunan pejabat menengah melepas semua barang-barang emas dan perak serta kereta kuda yang ia punyai. Pejabat-pejabat di bawah gubernur jenderal harus memecat kusir-kusir bangsa Eropa.

Van Goens rupanya memang terkesan pada anak Sultan Agung dalam hal pamer harta untuk mendukung penampilan sebagai pejabat.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Disintergrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, karya Dr HJ de Graaf (1987)
- Kehidupan Sosial di Batavia, karya Jean Gelman Taylor (2009)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]