Diponegoro Ditangkap, Kenapa Sultan Ditagih Ganti Rugi Perang oleh Belanda?
Setelah Diponegoro ditangkap, Keraton Yogkakarta didatangi Jenderah HM de Kock dan Jan Ishaak van Sevenhoven. Mereka menagih kompensasi perang kepada Sultan Hamengkubuwono V.
Selama lima tahun Perang Jawa, Belanda menghabiskan 20 juta gulden. Kepada Sultan, Belanda meminta ganti rugi ini.
Sultan baru berusia delapan tahun. Karenanya, Belanda berunding dengan pihak yang anti-Belanda dan pihak yang pro-Belanda di Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Oohya! Baca juga ya:
Sebelum Diserbu Sultan Agung, Kenapa JP Coen Larang Lelaki Belanda Punya Budak Perempuan?
De Kock dan Sevenhoven datang atas nama Komisi Kerajaan-Kerajaan yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Komidi ini, bahkan sudah dibentuk sebelum Diponegoro ditangkap.
Komisi memulai bekerja dari Magelang setelah Diponegoro ditangkap. Pasukan Diponegoro yang selama sebulan ada di Magelang dikembalikan ke keraton, tetapi tidak boleh di bawah Sultan.
Belanda kemudian menutup benteng-benteng sementara yang dibangun selama Perang Jawa. Barisan pendukung pasukan Belanda yang diajukan oleh keraton-keraton juga dibubarkan.
Setelah itu Komisi melakukan perundingan dengan para pangeran, baik yang anti maupun yang pro-Belanda.
Oohya! Baca juga ya:
Perlawanan Budak di Masyarakat Kolonial Batavia, Untung Suropati Jadi yang Paling Terkenal
Dalam perundingan-perundingan itu Belanda menegaskan akan membantu penataan keraton agar kuat. Maka,, Belanda akan mengembalikan tanah-tanah apanase yang sebelumnya disewa orang-orang Eropa.
Pengembalian tanah itu akan disertai dengan melihat potensi pendapatan keraton dan para pangeran dari tanah-tanah apanase itu. Maka, Komisi Kerajaan-Kerajaan juga akan memeriksa keuangan keraton dan keuangan para pangeran.
Itulah kesepakatan lisan yang dihasilkan akhir April dengan para pangeran Keraton Yogyakarta. Sekanjutnya, Komisi melsnjutkan perundingan dengan para pangeran Keraton Surakarta.
Kuatnya barisan pendukung Belanda di lingkungan keraton memperlancar pekerjaan Komisi. Belanda sebagai pemenang perang jelas di atas angin, sehingga bisa menagih ganti rugi perang kepada Sultan.
Diponegoro sudah dikirim ke Batavia, tak mungkin lagi melanjutkan perang. Belanda harus memulihkan keadaan dan keuangan.
Belanda mengandalkan Nahuys van Burgst, mantan residen Yogyakarta (mengundurkan diri pada 1822). Nahuys menjadi satu-satunya orang Belanda di Jawa yang memiliki pengalaman dan kontak pribadi dengan pangeran-pangeran di Yogyakarta dan Surakarta.
Oohya! Baca juga ya:
RA Kartini tak Suka Buku Java, tapi Ia Mau Membaca tanpa Jeda Jika Suka
Mska Nahuys dilibatkan dalam Komisi Kerajaan-Kerajaan. Nahuys pula yang kemudian harus menyampaikan kepada Pakubuwono VI bahwa Belanda tak mungkin memenuhi janji memperluas wilayah kekuasaan Surakarta.
Secara diplomatis ia mengatakan, perluasan wilayah itu harus mendapat persetujuan pula dari Keraton Yogyakarta. Perluasan wilayah itu dijanjikan oleh Belanda pada masa Perang Jawa.
Belanda akan menambah wilayah kekuasaan jika Pakubuwono VI bersedia membantu menghentikan Perang Jawa. Kini Pskubuwono VI tidak berdaya.
Mendapat jawaban dari Nahuys, Pakubuwono VI sudah bisa memprediksi ujungnya. Maka, ia menegaskan tidak boleh ada sejengkal tanah Keraton Surakarta yang diambil.
Belanda memang berniat mengambil alih wilayah-wilayah mancanegara (wilayah di luar kedua keraton). Belanda juga akan menetapkan wilayah keraton, melakukan reorganisasi keraton, dan campur tangan dalam urusan keuangan keraton.
Awalnya Nahuys tidak bersedia bergabung di Komisi Kerajaan-Kerajaan. Pada 1823 Nahuys tidak setuju atas langkah pemerintah Hindia Belanda yang menuntut dari tindakan Keraton Yogyakarta melarang sewa lahan pada 1823.
Oohya! Baca juga ya:
Untuk Apa Raja Punya Banyak Anak Jika yang Jadi Raja Cuma Satu? Kisah Mataram
Atas nama Gubernur Jenderal, Jenderal HM de Kock mendesaknya untuk bergabung. Akhirnya, mau tidak mau, Nahuys menerimanya.
“Nahuys dengan enggan memenuhi desakan itu,” ujar Vincent JH Houben.
Di Komisi ada juga residen Yogyakarta 1825-1826 dan 1830-1831, Jan Ishaak van Sevenhoven. Nahuys tidak sependaoat dengan Van Sevenhoven dalam banyak hal.
Tapi Nahuys senang De Kock memimpin Komisi Kerajaan-Kerajaan. Lalu, mengapa Komisi menagih ganti rugi biaya Perang Jawa kepada Sultan Hamengkubuwono V?
Rupanya Sultan Hamengkubuwono II pernah menjanjikannya. Sultan Sepuh itu diangkat lagi sebagai raja setelah Perang Jawa berlamgsung setahun.
Sultan Sepuh diharapkan bisa meluluhkan Diponegoro, agar Diponegoro menghentikan perang. Saat Perang Jawa meletus, Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono V masih berusia lima tahun.
Karenanya Hamengkubuwono V yang naik tahta pada Desember 1822 diturunkan lagi. Sultan Sepuh pun berjanji memberikan kompensasi biaya perang.
“Janji itu dianggap mengikat Hamengkubuwono V, meskipun Sultan Sepuh sudah mangkat pada tahun 1828 dan penguasa yang baru itu masih kecil,” tulis Vincent JH Houben. Akankah Jawa menjadi baik-baik saja dengan langkah Belanda ini?
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Keraton dan Kompeni, karya Vinvent JH Houben (2002)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]