Untuk Apa Raja Punya Banyak Anak Jika yang Jadi Raja Cuma Satu? Kisah Mataram
Panembahan Senopati memiliki 22 anak. Tapi dari 22 anak itu, yang menggantikannya sebagai raja Mataram cuma satu, yaitu Raden Mas Jolang, yang setelah remaja ia dikenal sebagai Pangeran Adipati Anom Ing Mataram.
Pangeran Adipati Anom Ing Mataram naik tahta pada 1601 dengan nama Prabu Anyokrowati. Prabu Anyokrowati memiliki 15 anak dan yang menggantikannya sebagai raja Mataram juga cuma satu, yaitu Raden Mas Jatmiko yang setelah remaja dikenal sebagai Pangeran Rangsang.
Pangeran Rangsang naik tahta pada 1613 dan kemudian dikenal sebagai Sultan Agung. Begitu seterusnya. Lalu untuk apa para raja harus punya banyak anak, jika yang jadi raja nantinya cuma satu?
OOhya! Baca juga ya:
Tak semua anak menjadi raja, tetapi mereka diberi wilayah kekuasaan di negeri-negeri bawahan. Misalnya, Pangeran Puger yang menjadi penguasa di Ponorogo, dibantu oleh Pangeran Ronggo.
Pangeran Puger merupakan anak kedua Panembahan Senopati, anak dari selir yang berasal dari Demak. Sedangkan Pangeran Ronggo merupakan anak pertama, anak dari selir yang berasal dari Kalinyamat.
Panembahan Senopati memiliki satu permaisuri dan tujuh selir. Prabu Anyokrowati merupakan anak permaisuri yang berasal dari Pati.
Penunjukan Pangeran Puger menjadi penguasa Ponorogo dilakukan oleh Prabu Anyokrowati. Anyokrowati adalah anak ke-10 Panembahan Senopati, setelah naik tahta memberi penghormatan kepada saudara-saudaranya berupa wilayah-wilayah bawahan.
Tetapi apakah semua menjadi baik-baik saja? Meski Panembahan Senopati berpesan kepada anak-anaknya agar selalu rukun dan tak tidak berbuat jahat, ternyata pesan itu tidak dipatuhi oleh Pangeran Puger.
Oohya! Baca juga ya:
Portugis Serbu Pasai Fatahillah Lari, Kenapa Portugis Kalah dari Fatahillah di Sunda Kelapa?
Menjadi penguasa di Ponorogo membuat Pangeran Puger merasa haknya sama dengan adiknya, Anyokrowati yang menjadi raja Mataram. Ia juga mengaku memiliki hak untuk menjadi raja seperti adiknya.
Oleh karena itu, ia pun akan melakukan perlawanan terhadap Prabu Anyokrowati. Akibatnya, oleh Prabu Anyokrowati ia diusir dari Mataram, dibuang ke Nusa Brambangan di sebelah barat Mataram.
Pangeran Rangsang menjadi anak Prabu Anyokrowati yang beruntung. Ia lahir sebelum Prabu Anyokrowati naik tahta.
Akibatnya, Prabu Anyokrowati yang punya banyak anak itu, tidak menunjuk Pangeran Rangsang sebagai putra mahkota kendati ia anak tertua. Ia bukan putra mahkota, karena ibunya tidak menjadi permaisuri kendati sebagai perempuan pertama yang dinikahi ayahnya.
Yang menjadi putra mahkota adalah Pangeran Martopuro, adik Rangsang dari permaisuri. Namun, orang-orang Mataram lebih menyukai Pangeran Rangsang yang menjadi raja Mataram, daripada Martopuro yang berkebutuhan khusus.
Martopuro pun mengalah, karena yang menjadi raja cuma satu. Ia hanya menjadi raja sehari, lalu menyerahkan tahta kepada Pangeran Rangsang yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung, tanpa perlu ada pertikaian.
Oohya! Baca juga ya:
Ketika Sultan Agung harus menurunkan tahta kepada anaknya, ia bepesan agar tidak ada yang berbuat jahat seperti yang dilakukan oleh Pangeran Puger di masa pemerintahan Prabu Anyokrowati. Sebelum ia meninggal, di keraton sudah ada intrik.
Ada yang mengusulkan posisi putra mahkota diberikan kepada Pangeran Alit, karena Pangeran Adipati Anom telah bertindak amoral menculik istri Tumenggung Wiroguno. Karenanya ia juga berpesan agar anak-anaknya rukun selalu.
Tapi dua tahun setelah Pangeran Adipati Anom naik tahta dengan nama Susuhunan Amangkurat I, Pangeran Alit melakukan pemberontakan. Mataram gonjang-ganjing karena setelah itu ada 7.000 ulama dibantai karena mendukung Pangeran Alit.
Selain itu pejabat-pejabat tua yang mengabdi semasa Sultan Agung juga ikut dibunuh oleh Amangkurat I, diganti dengan pejabat-pejabat muda pengikut Amangkurat I. Pertikaian anak-anak raja karena tahta terus berlanjut pada tahun-tahun selanjutnya.
Kompeni mudah bekerja menguasai Jawa dengan memainkan permusuhan antarsaudara di internal keraton. Maka, pecahlah Mataram menjadi dua kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta.
Oohya! Baca juga ya:
Jangan Membaca Buku Lebih dari 1,5 Jam Hai Mahasiswa, Ini Tip Membaca Belajar-Kritis
Lalu, Surakarta dan Yogyakarta pun juga pecah lagi. Kompeni (Belanda) dan juga Inggris benar-benar mengambil hati para pangeran, agar tak ada pangeran yang menganggur, dengan cara diangkat sebagai raja baru atau diberi wilayah otonom baru.
Lahirnya Pakualaman adalah hasil kerja Inggris. Setelah membantu Inggris merebut Keraton Yogyakarta, BPH Notokusumo diberi hadiah oleh Inggris berupa wilayah otonom Pakualaman dan ia ditunjuk sebagai rajanya dengan gelar Paku Alam I.
BPH Notokusumo adalah putra ke-11 Sri Sultan Hamengkubuwono I, adik dari Sri Sultan Hamengkubuwono II yang merupakan putra ke-5 Hamengkubuwono I.
Demikian pula dengan Pakubuwono I. Atas bantuan Kompeni, Pangeran Puger menjadi raja Mataram dengan gelar Pakubuwono I, merebut tahta dari Amangkurat I karena yang menjadi raja harus cuma satu.
Pangeran Puger semula adalah putra mahkota semasa Mataram dipimpin Amangkurat I. Nama kecilnya Raden Mas Drajat, putra dari permaisuri Ratu Wetan.
Belum dapat data soal Amangkurat I punya banyak anak atau tidak. Sebab, 43 selirnya ia bunuh setelah Ratu Wetan meninggal. Amangkurat I mencopot statusnya sebagai putra mahkota, lalu status itu dialihkan kepada Raden Mas Rahmat, putra dari permasisuri Ratu Kulon, yang kemudian menjadi Amangkurat II.
Oohya! Baca juga ya:
Mudik Lebaran Menjadi Terasing di Jalan Tol, Apalagi Jika Susah Mendapati Pengasoan
Pangeran Puger melantik Amangkurat III menggantikan Amangkurat II. Ketapi kemudian ia lari ke Semarang dan atas bantuan Kompeni menjadi raja Mataram ke-7 dengan nama Pakuwono I.
Jadi untuk apa para raja memiliki banyak anak jika yang menjadi raja cuma satu? Atau justru membuat kerajaan menjadi terpecah-pecah karena banyak yang ingin menjadi raja?
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Babad Pagedongan (1941)
- Babad Tanah Djawi, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
- Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat, penyusun KPH Mandoyokusumo (1988)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]