Derita RA Kartini Setelah Dinikahi Lelaki yang Sudah Punya Istri, Siapa yang Ingin Menodai Nama Pejuang Emansipasi Perempuan Itu?
Sebelum menikah dengan lelaki yang sudah punya istri, pujian belaka yang diterima RA Kartini. Setelah menjadi istri Bupati Rembang yang sudah beristri itu, kata Kartini, “Saat itu orang mencoba menodai nama saya.”
Untungnya, suaminya selalu berpihak kepadanya. “Dia menyenangkan hati saya dengan lagu gamelan dan tembang yang bagus. Maka sukalah hati saya duduk-duduk bersama suami saya,” kata RA Kartini, pejuang emansipasi perempuan itu.
Tapi ada hal yang memunculkan derita, lebih tepatnya dalam bahasa RA Kartini, “Merawankan hati saya.”. Tembang gamelan itu membangkitkan kembali suasana masa lalu, yang kata Kartini, “Tidak boleh saya kenangkan.”
Oohya! Baca juga ya:
Sebelum menikah dengan Bupati Rembang, Kartini merupakan gadis yang lincah. Keinginannya menggebu-gebu, demi memajukan bangsanya, meski harus mengorbankan kebahagiaan pribadi.
Ia pernah berkirim surat kepada Nyonya Abendanon mengenai rencana pernikahannya tentang calon suaminya, yang ia sebut sangat mendukung dirinya. Setelah menikah, Bupati Remnang itu memang membuktikan janjinya.
Nyonya Abendanon dianggap oleh Kartini sebagai ibu. Karenanya ia banyak bercerita berbagai hal, bahkan termasuk perubahan tanggal pernikahannya.
“Apakah Ibu sudah tahu? Tanggalnya diajukan –atas permintaannya yang sangat. Bukan tanggal 12, melainkan tanggal 8 November, sore hari menjelang pukul lima dan hari Rabu tanggal 11 berangkat dari rumah,” kata RA Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon tanggal 19 Oktober 1903.
Rupanya, Bupati rembang meminta tanggal pernikahan dimajukan. Dengan demikian, tanggal 12 ia sudah berperan sebagai istri bupati, jika tanggal 11 November sudah berangkat ke Rembang.
OOhya! Baca juga ya:
“Ibuku tercinta, inilah salam penghabisan anak Ibu sebagai gadis, pada malam penghabisan sebelum hari perkawinannya. Besok jam setengah enam kami kawin. Saya tahu, siapa yang besok denan sepenuh hatinya ada di dekat saya,” kata Kartini kepada Ny Abendanon dalam suratnya tertanggal 7 November 1903.
Setelah itu, Kartini jeda berkirim surat ke Belanda. Baru pada 11 Desember 1903 ia mulai mengirim surat lagi. Pada suratnya tertanggal 10 April 1904, Kartini bercerita tentang pengajaran dan pendidikan yang terus ia lanjutkan dengan dukungan dari suami.
Di sisi suaminya, Kartini cepat bisa mengambil hati rakyat Rembang. Mereka kemudian bersedia menyekolahkan anak-anak perempuannya.
Dengan menjadi istri bupati, ia semakin tahu penderitaan rakyat. Betapa getirnya hati RA Kartini melihat rakyat kecil harus menanggung derita itu.
Mereka harus pajak yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Pemotong rumput, misalnya, harus membayar pajak pencaharian sebesar 10-12 sen per hari.
Mereka yang akan menyembelih domba juga harus membayar pajak 20 sen per ekor. Maka, penjual sate yang tiap hari menyembelih dua ekor kambing harus membayar pajak 144 gulden tiap tahunnya.
“Dan berapakah penghasilannya? Hanya cukup untuk hidup,” kata RA Kartini, pejuang emansipasi perempuan itu.
Oohya! Baca juga ya:
Jangan Membaca Buku Lebih dari 1,5 Jam Hai Mahasiswa, Ini Tip Membaca Belajar-Kritis
Di rumah, Kartini bersama anak-anak bupati, yang sudah menjadi anaknya juga, bekerja sampai pukul 12.00. Pukul 12.30 suaminya akan menengok anak-anaknya yang sudah mandi dan sudah ingin makan.
Pukul 13.30 Kartini menidurkan mereka. Jika suaminya ikut tidur, maka Kartini akan melanjutkan kerja bersama dengan anak-anak gadisnya.
Pukul 16.00 Kartini menyiapkan teh untuk suaminya. “Kalau anak-anak sudah minum susu dan tekah dimandikan, mereka boleh menghalau ayam ternak ke kandangnya, boleh turut berjalan-jalan dengan kami atau bermain-main di kebun,” kata Kartini.
Senja merupakan waktu Kartini bercengkerama dengan suaminya. Merekea membicarakan berbagai hal.
Ketika suaminya kemudian beralih membaca koran sore, Kartini akan mendongeng untuk anak-anaknya. Ia mendongeng sambil duduk di kursi malas, hingga waktu makan malam tiba.
Oohya! Baca juga ya: '
Mudik Lebaran Menjadi Terasing di Jalan Tol, Apalagi Jika Susah Mendapati Pengasoan
Hari Ahad merukan hari libur. Kartini dan suaminya akan berjalan-jalan pagi-pagi benar. Sehabis itu dilanjutkan dengan memasak untuk makan pagi.
Lalu duduk-duduk bersama suami mendengarkan tembang gamelan. Ini yang membuat Kartini teringat suasana masa lalu.
Suaminya benar-benar berada di sisinya, membelanya untuk setiap serangan yang ditujukan kepada Kartini. Tidak pernah Bupati Rembang percaya pada omongan orang yang tidak-tidak tentang Kartini, omongan yang ingin menodai nama Kartini.
Tapi, RA Kartini tidak menceritakan kata-kata serangan yang ditujukan untuk menodai namanya. Tak pula menyebut siapa yang sudah berusaha menodai nama Kartini.
“Aduhai, sekiranya teman-teman tahu, apa yang dipercakapkan orang tentang saya. Jika dibandingkan dengan sesuatu yang saya dengar, setelah kawin, pujian belaka yang saya terima sebelum saya kawin?” kata Kartini.
Bahkan istri pertama Bupati Rembang sampai menaruh simpati kepadanya. Mungkin istri pertama bupati itu juga merasakan derita yang dirasakan RA Kartini. Ia mungkin juga mendengar ada orang yang hendak menodai nama pejuang emansipasi perempuan itu.
Oohya! Baca juga ya:
Alibi Amangkurat I Ketika 7.000 Ulama-Santri Mataram Jadi Korban Pembantaian
“Ingin benar istrinya berkenalan dengan saya; pada waktu sakit yang terakhir dia tertidur dengan potret saya di tangannya. Dan suami saya merasa bahwa suatu saat saya akan memainkan peranan besar dalam hidupnya,” kata RA Kartini.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Surat-Surat Kartini, penerjemah Sulastin Sutrisno (1985)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com