Kendeng

Apa yang Bikin RA Kartini Ceria Setelah Shalat Minta Hujan Saat Terjadi Kelaparan karena Kemarau Panjang?

Kemarau panjang membuat Demak dan Grobogan mengalami kelaparan pada 1900-1904. Kartini gembira setelah rakyat melakukan shalat minta hujan. Mengapa?

Kurun 1900-1904, Jawa bagian utara mengalami paceklik akibat kemarau panjang. Demak dan Purwodadi (Grobogan) menjadi wilayah yang mengalami kelaparan pada masa itu.

RA Kartini pernah menyinggung kelaparan di Demak dan Purwodadi (Grobogan) dalam suratnya pada 1901. Pada 1903, Kartini bercerita tentang shalat minta hujan, Shalat Istisqa, yang dilakukan di suatu lapangan. Kartini ceria menyampaikan cerita setelah hujan turun.

“Tuan dapat mengerti, betapa gembira dan bersyukurnya rakyat ketika hujan turun dengan derasnya. Doanya terkabul! Dan tahukah Tuan, apa yang dikatakan orang? Terkabulnya doa itu disebabkan karena kami hadir pada waktu sembahyang,” kata RA Kartini kepada JH Abendanon dalam suratnya tertanggal 1 Februari 1903.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Jangan Membaca Buku Lebih dari 1,5 Jam Hai Mahasiswa, Ini Tip Membaca Belajar-Kritis

Saat berkeliling mendampingi ayahnya, Bupati Jepara, Kartini menyaksikan ada orang-orang berkumpul di sebuah lapangan. Kartini tidak menyebut lokasi lapangan itu.

Di bagian depan, duduk pada haji dan santri. Di bagian belakang duduk para hajah dengan mukena putih.

Di kanan-kiri duduk ratusan laki-laki dan perempuan serta anak-anak. “Domba, kambing, kuda, kerbau diikat di tonggak-tonggak," kata Kartini.

Seorang haji menjadi imam shalat saat itu. “Berdiri di depan dan berdoa dengan suara keras. Orang banyak itu menyambut dengan ‘amin-amin’. Domba-domba turut mengembik,” kata Kartini.

Mereka sedang melakukan shalat, Kartini menyebutnya Shalat Istikharah. Jika itu shalat meminta hujan, seharusnya disebut Shalat Istisqa.

Oohya! Baca juga ya:

Cucu Sultan Agung Memberontak Setelah Amangkurat I Menghukum Mati Mertua, Trunojoyo Jadi Sekutu

“Sembahyang itu berlangsung tiga hari dan tiga malam,” kata Kartini.

Setelah itu, turun hujan begitu deras. Rakyat begitu girang dan menganggap kehadiran Kartini dan ayahnya, Bupati Jepara, membantu doa mereka terkabul.

“Kata-kata kami tidak berhasil melenyapkan pikiran dari benak mereka bahwa sekali-kali kami tidak berjasa apa pun untuk terkabulnya doa itu,” kata Kartini.

Kelaparan akibat kemarau panjang telah terjadi di mana-mana. Karenanya, shalat minta hujan sebelumnya juga dilakukan di berbagai tempat.

Tetapi, shalat minta hujan di tempat-tempat lain itu hujan tidak turun setelah Shalat Istisqa dilakukan. Di tempat-tempat lain itu, RA Kartini dan ayahnya tidak hadir.

“Rakyat kami yang bersahaja menarik kesimpulan bahwa kamilah yang menambah kekuatan pada ‘Sembahyang Istikharah’ yang terakhir, maka permohonan rakyat segera juga dikabulkan,” kata Kartini, kali ini tidak dengan perasaan ceria.

Oohya! Baca juga ya:

Mudik Lebaran Menjadi Terasing di Jalan Tol, Apalagi Jika Susah Mendapati Pengasoan

Shalat minta hujan yang dihadiri oleh Kartini dan ayahnya memang disusul oleh turun hujan. Itulah yang membuat rakyat yang shalatnya dihadiri Kartini dan ayahnya itu merasa yakin doa mereka dikabulkan karena kehadiran Kartini dan ayahnya.

Ketika paceklik mulai terjadi di Jawa bagian utara pada 1900, harga beras jenis kedua saja sudah mencapai 7,5 gulden per pikul pada November 1900. Rakyat kemudian beralih mengonsumsi singkong dan jagung, tapi pesrediaannya sangat terbatas.

Ada orang Belanda yang membaca peluang. Ia membeli lahan seluas dua bau di Srondol, Semarang selatan pada 1901. Harganya 130 gulden.

Lahan itu lalu ia Tanami singkong. Ia mendapatkan 220 gulden dari penjualan singkongnya.
Ia kirim stek singkong ke Grobogan dengan harga satu sen per stek. Oleh pemerintah, petani Grobogan dianjurkan menanam singkong menghadapi masa paceklik itu.

Masih cerita tahun 1900, saat terjadi kelaparan di Grobogan, ratusan orang dari Desa Selo yang pergi mengemis di Desa Penawangan. Itu terjadi pada musim panen padi, Maret 1900.

Oohya! Baca juga ya:

Alibi Amangkurat I Ketika 7.000 Ulama-Santri Mataram Jadi Korban Pembantaian

Selo di sebelah timur Purwodadi, Penawangan di sebelah barat Purwodadi. Jarak Selo ke Penawangan ada 23 kilometer.

Mereka melakukan hal itu karena tahu di Penawangan ada panen padi di sawah yang dikelola oleh orang Eropa bernama Tuan Schmidt. Ia mantan juru tulis di Yogyakarta.

Semula, Schmidt memberi uang kepada orang-orang yang datang ke sawahnya. Tetapi uang itu ditolak, sebab tak dianggap tak berguan bagi mereka selama tak ada beras yang bisa dibeli.

Jumlah orang-orang kelaparan akibat kemarau panjang yang mendatangi Schmidt terus bertambah. Tidak hanya dari Selo tetapi juga dari 19 desa.

Jumlahnya mencapai 800-900 orang. Mereka datang tidak untuk melakukan shalat minta hujan, tapi minta padi kepada Schmidt.

“Bahaya yang mengancam itu terutama sangat hebat di Purwodadi,” kata RA Kartini dalam suratnya untuk Dr N Adriani tertanggal 10 Agustus 1901, juga dengan nada tidak ceria.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- De Locomotief, 16 Oktober 1900, 10 November 1900, 8 Oktober 1901
- Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 16 Desember 1901
- Soerabaijasch Handelsblad edisi 10 Mei 1900
- Surat-Surat Kartini, penerjemah Sulastin Sutrisno (1985)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]